Kau pernah bersuara lantang pada Tuhan lewat doa yang kau panjatkan pada-Nya dengan mimik penuh harap. "Semoga Tuhan menganugrahkan cinta yang lebih besar kepada kita jika bukan hari ini pasti esok". Akupun mengamininya. Seingatku waktu itu pertama kalinya aku mencium seorang hawa pada jumat sore dimana hujan mulai turun perlahan-lahan. Ah, kau memang menyukaiku.
Kau juga pernah meracikkan kopi hitam atau secangkir partikel hitam kesukaanku dengan formula atau rumus yang pas pada angka-angka yang terkoreksi menurut rasaku. Lalu menyajikannya di atas meja dalam kamar kostanmu, kitapun bercerita banyak hal kala itu. Zat hitam ini adalah candu buatku. Mengajarkanku kita tentang hitam pahit manis bercampur padu dalam cangkir yang bernama kehidupan. Kau, aku bisa melihat hidup dari sisi yang berbeda, sederhana bukan.
Hal yang paling romantis adalah mengajakmu ke puncak melihat kabut tipis dan bunga edelweis diketinggian dua ribu sembilan puluhan meteran diatas permukaan laut. Kita tidak perlu memetiknya cukup memaknainya saja. Bunga yang melambangkan ketulusan, pengabdian dan keabadian. Mekarnya sepanjang masa dan tak pernah layu. Kisah kita harus seperti ini, harapmu. Malam semakin larut saja, dingin semakin menusuk-nusuk tulang. Dalam hangatnya tenda kita berpelukan hingga berakhir setelah matahari terbit diufuk timur membangunkan kita, sayang.
AH, SIAL...
AH, SIAL...
Makassar Kamar kostan, Belajar menulis fiksi