September 12, 2013

Tempat Suci bernama D5

Barangkali inilah tempat suci itu, ruangan dengan penuh ketenangan untuk menuangkan segala apa yang ingin membuncah atau meluap-luap dari kepala. Ya! saya ingin mengatakannya ini tempat suci, perkenankanlah. Malam datang saya temukan diri membatin dengan penuh damai layaknya saya tengah berada di atas gunung sana.

Disini saya ingin menulis berapa kisah-kisah perjalanan, kisah keheningan, perihal cinta atau beberapa peristiwa yang begitu sulit di narasikan di warung kopi tempat biasa saya habiskan sepertiga malam atau pada kamar kostan yang telah sewindu ini saya tempati.

Tak perlu saya mendeskripsikan terlampau jauh ini dimana. satu yang pasti disini dikelilingi pohon-pohon begitu rindang nan lebat sebagai paru-parunya kota tua ini yang  mulai menciptakan sendiri rancunnya bernama polusi bukankah yang demikian adalah ciri kota besar layaknya ibukota tanah air ini. Ada kesyukuran dalam diri telah mengenal tempat ini, sungguh!

Malam ini saya hanya ingin melepaskan endapan kesan sebelum apa yang tercipta dikepala berlalu begitu saja atau kembali menjadi kosong. Beberapa perenungan akan saya lakukan ditempat ini. Saya mengetahui, disini jauh sebelum saya berhak menempati ruangan ini, mereka telah melahirkan karya-karya besar atau dari tempat ini terlahir beberapa tesis yang mereka ciptakan.

Kadang ada waktu dan tempat dimana kita bisa dengan mudah mengalirkan kalimat perkalimat menjadi sebuah tulisan yang utuh.  Atau satu tempat dengan gampangnya kita melafazkan kitab-kitab yang dibaca, pun buku-buku itu akan mudah kita pahami isi dan maknanya.

Sekali lagi saya katakan pada kalian, tempat ini suci untuk bersemedi menuliskan beberapa perihal diatas yang belum sempat saya publikasi di halaman ini, termasuk melahirkan tulisan singkat minim makna dan tak bernilai apa-apa yang kalian baca sekarang ini. Malam ini seakan saya berada ditengah oase dengan kesejukannya dan tempat itu bernama, D5.


Suatu malam, di ruang D5 Sar Unhas, September 2013

September 06, 2013

Merayakan kemenangan di kampung, Pulau Tomia [jurnal mudik]

"Petualang hebat lagi tangguh harus dilahirkan dari berjibaku ombak ganas di palung-palung terdasar samudera. Tiga puluh tujuh jam terombang ambing. Ini kisah perjalanan romantis, sungguh"
 
Lebaran segera datang, ya! menyisakan dua hari  lagi menuju hari kemenangan. Saya masih di kota tua itu tak terpengaruh dengan segala hiruk pikuk mudik. Entahlah, tapi pagi itu mendadak handphone berbunyi rupanya orang terkasih di kampung meminta saya untuk mengemas-ngemas pakaian lalu pulang. Lekas, saya bergegas memesan tiket pada travel di salah satu sudut kota itu. Pagi itupun saya memutuskan pulang untuk berlebaran dikampung yakni tanah tercinta Pulau Tomia. Jenis fery, ini kapal terakhir dari Makassar menuju Baubau.

Agustus datang dengan waktu mudiknya, tapi  ini juga adalah musim keras ombak dan angin sebagai pembangkitnya. Sontak saja kapal fery yang saya tumpangi amat terasa dihantam-hantam gelombang. Saat malam saya keluar menyempatkan melihat satu sisi haluan kapal, angin mendesir begitu kencang mengusap-ngusap wajah seakan ingin menyapu yang akan ia bisa bawa. Dari jam ditangan, saya menghitung durasinya dua puluh tiga jam berjibaku ombak menuju pelabuhan murhum baubau. Efeknya kepala terasa oleng bahkan satu orang temanku mabuk laut begitu juga yang dialami beberapa penumpang lain disekitar saya mengambil tempat.

Satu catatan saya tentang kapal ini yakni lamban tapi mampu membuat penumpang puas atas pelayanan makanannya juga menu berbuka puasanya dengan menyuguhkan berapa butir kurma kepada penumpang. Saya rasa ini tak dijumpai pada kapal-kapal lain yang pernah digunakan jasa pelayarannya. Juga ada hiburan yang menemani perjalanan dengan pertunjukan musiknya. Barangkali itu akan sedikit mengurangi segala rasa yang bercampur menjadi satu rasa bernama tidak enak ketika di ombang ambing. Benar saja terlalu lama dan ke-enakan di tanah daratan kemudian mendadak merasakan ayunan gelombang laut selalu saja tidak mengenakkan perasaan.

***
Tepat pagi, embun masih menyelimuti keraton buton itu nampak  jauh terlihat  dari atas kapal. Pun kapal fery telah bersandar di pelabuhan murhum baubau. Semalam telah terlewati dengan penuh perjuangan menguatkan diri agar kondisi tetap stabil karena masih ada separuh sisa perjalanan menuju Pulau Tomia. Sehari sebelum lebaran, rupanya tumpangan kapal kayu rute baubau-tomia tak ada lagi. Kami melewatkannya semalam saat kami masih berada di makassar. Masih mencari-cari info kapal, alhasil kapal terakhir menuju Pulau Binongko akan berangkat malamnya dan disanalah kami menumpang kebetulan akan singgah di Pulau tomia sebelum melanjutkan menuju pelabuhan tujuan yakni binongko.

Meninggalkan pelabuhan baubau, angin dan ombak masih saja  menjadi teman cerita selama perjalanan mudik ini. Bahkan kali ini kapal berayun lebih cepat karena kapal yang saya tumpangi adalah jenis kapal kayu dengan tingkat stabilitasnya yang rendah, hukum kapal memang berbicara seperti itu yakni semakin tinggi kapal maka nilai stabilitasnya akan semakin kecil dan itulah yang saya lihat dari kapal-kapal yang ada di pulau tomia. Maka dari itu terombang ambing akan gelombang adalah seni setiap mengunjungi tomia, maka sukailah.

Malam begitu pekat tanpa bintang. Suara gelombang, angin yang mendesir dan bunyi mesin kapal beradu padu mencipta nada-nada pengantar tidur. Saya memilih cepat merebahkan badah ke kasur yang disediakan untuk menghindari agar kepala tak merekam setiap hantaman gelombang yang bisa membuat oleng kepala. Hingga abk kapal membangunkan semua penumpang untuk makan sahur. Lagi, Empat belas jam menikmati nyayian ombak hingga kapal memasuki perairan tomia. Selain saya beberapa penumpangpun turun dengan menggunakan jasa ojek laut berupa kapal kecil berukuran sepuluh hingga lima belas orang. Ini dikarenakan kapal yang kami tumpangi tidak bersandar di pelabuhan. Dan kapal tadi melanjutkan pelayarannya menuju pulau binongko.

Kembali menyambangi pulau ini, tomia dengan segala keindahannya. pasir yang begitu memutih, lautnya yang membiru dan segala keagungan kearifan lokalnya. Disinilah saya ditempa menjadi petualang dengan bermain bersama ombak tentu saja bersama anak pesisir lainnya. itulah mainan masa kecil kami. Tomia adalah tempat saya  mengenal cinta dan membangun harapan-harapan. Ah, saya menyukai semua itu.

Akhirnya saya merayakan kemenangan di kampung sendiri, tanah terberkahi yakni Pulau Tomia. Selamat merayakan dimana pun berada, maaf lahir batin atas khilaf!

- Pulau Tomia, agustus 2013

TERPOPULER BULAN INI