November 26, 2012

November Sakral

November, bulan dimana didalamnya saya selalu mensakralkannya. Saat-saat dimana beberapa manusia terlahir dalam keadaan yang kudus dengan keberkahan manifestasi jiwa petualang. Dari rahim perempuan yang suci dan disucikan, ibu yang mulia. Terberkati.

Saya selalu saja menolak kegamangan juga gulana datang menghampiri. Dengan argumentasi saya menghargai bulan yang sakral itu. Ini bentuk perayaan dari saya. Mungkin tak perlu ucapan dari orang-orang terdekat saya.

Karena jiwa petualang adalah anugerah yang tidak semua orang mendapati dalam dirinya. Tuhan hanya membaginya pada segelintir orang saja yang lahir dari rahim perempuan yang terpilih pula.

Maka berbahagialah perempuan mulia dari kaumnya itu telah melahirkanku. Bahagia pula saya. Semoga keberkahan selalu menghampiri dan dewi fortuna menyelimuti/menghangatkan tubuhku yang kadang-kadang kedinginan dan nyaris hipothermia ini.  Adalah doa-doa suci darinya akan menguatkan.

Barangkali sekali tepukan tangan kalian adalah hadiah yang lebih buat saya. Sekali lagi, berbahagia banggalah kalian apa yang tergaris pada saya. Makhluk pendaki gunung yang terkadang nyaris terbunuh pada malam-malam dingin di hutan sana.




November 22, 2012

Sensasi Menyeruput Kopi di Atas Gunung

Kita semua punya cerita tersendiri tentang secangkir kopi tak terkecuali saya yang penikmat kopi.  Setiap hari saya akan menikmati partikel hitam tersebut, tentu saja dalam takaran yang sewajarnya. Ada sebuah pengalaman menyeruput kopi yang kenikmatan rasanya masih dan selalu saja mengendap pada ingatan-ingatan saya yaitu setiap mendaki gunung atau masuk gua, ke pantai atau alam bebas lainnya. Semacam ampas kopi yang selalu tertinggal di dasar cangkirnya.

Mendaki gunung adalah olahraga kategori berat bahkan ada yang menyamakannya dengan beradu banteng. Kita akan berjalan dengan beban di punggung berjam-jam hingga berhari-hari dengan melewati berbagai variasi medan entah dengan kontur yang landai, terjal berlumpur, berpasir dan kondisi alam lainnya. Setelah itu barulah kita akan mendapati puncak/triangulasi. Di titik ini segala rasa capek akan terkalahkan dengan pemandangan yang membius mata. Saya rasa itu impas.

Menyeruput Kopi Bersama (dok. pribadi)


Menikmati kopi di atas gunung tentu saja akan berbeda sensasinya dengan di café-café  pinggiran kota walaupun dengan iringan music romantic sekalipun. Saat di gunung, tidur di tendapun adalah istrahat sekelas kamar hotel bintang lima. Di atas gunung meyeruput kopi dalam keadaan dingin, berkabut sembari merasakan belaian angin gunung adalah hal yang mengasyikkan. Pada malam hari, kita akan ditemani bintang, bulan dan api unggun  yang akan menghangatkan tubuh. Suatu pengalaman yang tidak semua orang dapat merasakannya, Sentosa.

Pada musim haji tahun lalu di Gunung Bawakaraeng, Sulawesi Selatan 2829 mdpl  (meter dari permukaan laut). Saya, Tim Jejak Petualang Trans7 dan Medina Kamil menyaksikan perayaan ritual shalat ied di puncak gunungnya. Semangat keakraban sangat terasa dikala menyeruput kopi bersama-sama. Bahkan secangkir diteguk berlima atau berenam secara bergantian. Di gunung secangkir kopi dapat menumbuhkan semangat kebersamaan, sependeritaan dan sepenaggungan. 

Menghangatkan tubuh dengan tegukan kopi (dok. pribadi)


Berbeda pula ceritanya pada awal tahun lalu, dalam pendakianku ke atap Sulawesi Puncak Gunung Rantematio, 3478 mdpl. Sepanjang pendakian pulang pergi di guyur hujan lebat. Jarak pandang hanya lima meter, Nyaris terhempas badai di Puncak tertinggi Sulawesi adalah gambaran betapa ektrimnya cuaca saat itu.

Namun hal yang mampu mengalahkan semua pengalaman itu adalah saat menyeruput kopi hitam racikan anak gadis Pak Mellu dimana rumahnya kami jadikan basecamp di perkampungan Baraka, kaki gunung Latimojong. Setiap tegukannya membuat sekujur tubuh kembali menghangat setelah di guyur hujan seharian. “Ini adalah kopi asli Baraka”, kata Pak Mulle sambil menunjukkan pohon-pohon kopi di sekeliling rumahnya.

Setiap petualangan mendatangi tempat-tempat baru sebaiknya kita menyempatkan mengenal lebih banyak hal baru tentang adat istiadat, budaya, bahasa dari daerah tersebut. Dan setiap daerah di kaki gunung selalu memiliki kopi asli dan cita rasa khas tersendiri. Maka dari itu saya selalu mencicipinya.

Kopi merupakan barang wajib yang harus selalu ada dalam packingan carrier untuk setiap kegiatan naik gunung. Tentu saja selain perlengkapan wajib lainnya. Pada kesimpulannya, setiap naik gunung cerita tentang secangkir kopi adalah hal yang tak pernah habis diceritakan dalam buku catatan perjalanan. Kita akan selalu bermemori untuk setiap tegukannya. 

Kunjungi juga di  :

November 16, 2012

Menyaksikan Ritual Shalat Idul Adha di Puncak Gunung Bawakaraeng, Sulawesi Selatan

Gunung Bawakaraeng pagi itu tampak tertutup kabut tebal disertai desiran angin dan hujan dengan sesekali bergerimis tapi mentari pagi belum juga menampakan sinarnya. Dari lokasi kami bercamp dan mendirikan tenda terlihat ada beberapa jamaah berpakaian putih-putih bersorban serta berkerudung, mereka dengan rapi membentuk shaf dan dipimpin oleh seorang imam untuk mendirikan shalat ied disekitar tugu triangulasi.  Pada kondisi cuaca yang cukup dingin seperti ini mereka tetap melaksanakan shalat idul adha dengan khidmatnya mengikuti khutbah serta berdo’a lalu bersalam-salaman saling memaafkan”.

shalat ied di puncak bawakaraeng
Ini adalah sebuah perjalananku yang sangat disengaja diakhir tahun 2011 kemarin, saya temukan suatu peristiwa yang memang agak unik, langka, seru serta menarik dan hanya bisa kita jumpai di Sulawesi Selatan, tentunya. Bersama teman-teman dari tim sar unhas, saya ikut mendaki gunung bawakaraeng 2829 mdpl sebagai salah satu gunung tertinggi di Sulawesi selatan. Setiap tahunnya mereka akan mendaki gunung tersebut untuk melaksanakan siaga rutin sebagai antisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. “Pada agustus 1987 ritual seperti ini memakan korban 12 orang meninggal dunia” (sar unhas makassar)

Pilihan ke sana, karena ingin  menikmati suasana berlebaran di tengah-tengah alam pegunungan yang masih alami. Selain itu, ingin  mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan “ritual shalat ied” yang konon menurut beberapa cerita yang beredar jika mereka, “melaksanakan shalat” di puncak gunung Bawakaraeng, sama dengan naik haji sesungguhnya di tanah suci mekkah. Namun yang aku temukan berbeda mereka hanya menjalankan shalat ied saja  dan naik haji sesungguhnya itu hanya di Mekkah bukan di Bawakaraeng.  “Naik gunung bawakaraeng untuk naik haji itu tidak benar dan itu salah’’ Ujar Karaeng Kila, salah seorang warga yang juga melaksanakan shalat dipuncak.

jingga di pos 6
Gunung Bawakaraeng terletak di Kabupaten Gowa dan termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Lompobattang. Bagi masyarakat setempat memiliki arti Mulut Tuhan. Pada musim haji seperti ini, gunung bawakaraeng selalu ramai didatangi oleh warga dan beberapa pendaki untuk  melaksanakan shalat idul adha di puncak gunung.  Menurut data yang saya peroleh jumlah tahun ini kurang lebih 47 orang dan lebih banyak dibanding dua tahun terakhir.  Namun warga yang akan melakukan ritual bukan berasal dari warga dikaki gunung melainkan dari beberapa kabupaten disekitar gunung bawakaraeng.

Untuk bisa menyaksikan pelaksanaan shalat idul adha di gunung bawakaraeng pada bulan haji seperti ini, kami harus mendaki minus dua hari sebelum pelaksanaan hari H.  Start dari Kampus Unhas Makassar menuju Dusun Lembanna Kabupaten Gowa di kaki gunung bawakaraeng membutuhkan waktu sekitar 4 jam menggunakan mobil carteran.  Masyarakat Dusun Lembanna sangat akrab dengan para pendaki. Kita bisa menginap dirumah warga dengan tidak dimintai imbalan sepersenpun.

Saya dan beberapa teman dari unhas berjumlah 10 orang. Namun ada 5 orang teman media yang ikut bersama dalam tim kami kebetulan akan meliput pelaksanaan shalat idul adha diatas. Mereka adalah dari Jejak Petualang dan hostnya yaitu Medina Kamil. Kalau ada sahabat blogger yang sempat nonton tayangannya disalah satu stasiun tv pasti akan mengenal  saya.. hehhee..

Minus dua hari kami sudah melakukan pendakian. Jam 8 pagi waktu Dusun Lembana, setelah berdoa kamipun mulai melakukan pendakian. Jumlah tim dibagi menjadi dua, tim pertama yang membawa logistik dan tenda berjalan duluan bersama 4 orang porter yang membawa barang dan perlengkapan kamera dari  media. Tim kedua termasuk saya sendiri akan menemani  Jejak Petualang karena pada beberapa pos/tempat harus mengambil gambar.

berpose dalam satu tim (jejak petualang)
Tim pertama telah sampai di puncak pada jam 5 sore dan sudah mendirikan tenda. Sedangkan saya dan tim kedua baru sekitar jam 7 malam. Jika saya mengkalkulasi durasi waktu tempuh perjalanan normalnya yaitu 9 hingga 10 jam. Jalur pendakian gunung bawakaraeng adalah menanjak dan menurun lalu akan melewati hutan tertutup dan pada beberapa pos akan mendapati daerah terbuka dengan pemandangan yang menakjubkan mata.

Satu hari sebelum lebaran haji. Beberapa warga dan pendaki sudah mulai berdatangan ke puncak gunung bawakaraeng. Ada dua jalur yang bisa ditempuh yaitu melalui jalur lembanna kab. Gowa dan bisa melalui Kab, Sinjai. Diantara beberapa jamaah tampak terlihat ada seorang anak yang masih duduk dibangku kelas dasar. Suasana pada malam hari sangat ramai, terlihat juga api unggun pada beberapa tenda para pendaki. Mereka sedang menikmati  bintang dilangit dengan sangat terangnya. Menurutku inilah momen terbaik ketika mendaki gunung yaitu menikmati secangkir kopi bersama sembari ditemani bintang-bintang atau bulan.

Saya melihat perlengkapan pendakian mereka masih seadanya. Sebagian tenda yang mereka gunakan adalah terpal bukan tenda dome. Namun fisik dan daya tahan tubuh mereka mampu menahan hawa  bawakaraeng yang cukup dingin itu, saya cukup terkagum-kagum akan hal ini. “luar biasa” pikirku.

Puncak Gunung Bawakaraeng Tanggal 10 Dzulhijah. 
dok. didie putri (jejak petualang)
Tibalah waktu yang saya tunggu-tunggu yakni melihat secara langsung perayaan ritual shalat idul adha di Puncak Gunung Bawakaraeng. Pagi yang masih dingin dan berkabut tidak menghalangi warga dan beberapa kelompok jamaah dan para pendaki untuk melaksanakan shalat. Suasana puncak saat itu sangat ramai. Keakraban sangat jelas terlihat dengan saling bersalam-salaman bahkan menyeruput kopi dan menikmati rokok bersama.

Pada momen yang berbahagia seperti ini saling bersilaturahim adalah salah satu hal yang bisa kita lakukan. Sayapun menyempatkan diri ke tenda-tenda warga yang telah selesai melaksanakan shalat.  Bercerita bercanda dan sedikit mendapat informasi jika beberapa dari mereka telah melakukan ritual seperti ini secara turun temurun. Hari itu juga kami mendapat berkah menikmat makanan ala lebaran puncak gunung bawakaraeng yaitu ayam goreng. Tentu saja ini akan mengalahkan menu makanan kami yang sudah dua hari hanya mengkonsumsi indomie saja.

Sampailah pada kesimpulan apa yang saya lihat bahwa mereka yang melaksanakan shalat idul adha di Gunung Bawakaraeng adalah sama halnya dengan tata cara masyarakat umumnya baik di mesjid-mesjid atau ditanah lapang pada waktu lebaran haji. Anggapan beberapa masyarakat yang mengatakan tentang mereka yang bergelar haji gunung bawakaraeng itu adalah salah seperti yang dikatakan oleh Karaeng Kila sebelumnya.

Setelah melihat dan merasakan suasana berlebaran diatas gunung. Saya menyebutnya berlebaran diatas awan. Siang hari itu juga kami dan warga serta pendaki lainnya mulai meninggalkan puncak Gunung Bawakaraeng. Akhirnya kembali pulang dengan selamat dan membawa segudang cerita menarik untuk dikisahkan.

Kapan-kapan jika ada waktu sahabat blogger bisa mendaki bersama saya serta menyaksikan secara langsung suasana berlebaran di tengah-tengah alam pegunungan yang masih alami. Saya pastikan akan mendapatkan pengalaman dan sensasi yang berbeda dalam perjalanan wisata anda. Siapkan saja fisik, mental dan perlengkapan anda!!!

*) Catatan yang bisa saya sobek dalam rekaman perjalananku di bulan November 2011

TERPOPULER BULAN INI