Kita semua punya cerita tersendiri tentang secangkir kopi tak terkecuali saya yang penikmat kopi. Setiap hari saya akan menikmati partikel hitam tersebut, tentu saja dalam takaran yang sewajarnya. Ada sebuah pengalaman menyeruput kopi yang kenikmatan rasanya masih dan selalu saja mengendap pada ingatan-ingatan saya yaitu setiap mendaki gunung atau masuk gua, ke pantai atau alam bebas lainnya. Semacam ampas kopi yang selalu tertinggal di dasar cangkirnya.
Mendaki gunung adalah olahraga kategori berat bahkan ada yang menyamakannya dengan beradu banteng. Kita akan berjalan dengan beban di punggung berjam-jam hingga berhari-hari dengan melewati berbagai variasi medan entah dengan kontur yang landai, terjal berlumpur, berpasir dan kondisi alam lainnya. Setelah itu barulah kita akan mendapati puncak/triangulasi. Di titik ini segala rasa capek akan terkalahkan dengan pemandangan yang membius mata. Saya rasa itu impas.
Menyeruput Kopi Bersama (dok. pribadi) |
Menikmati kopi di atas gunung tentu saja akan berbeda sensasinya dengan di café-café pinggiran kota walaupun dengan iringan music romantic sekalipun. Saat di gunung, tidur di tendapun adalah istrahat sekelas kamar hotel bintang lima. Di atas gunung meyeruput kopi dalam keadaan dingin, berkabut sembari merasakan belaian angin gunung adalah hal yang mengasyikkan. Pada malam hari, kita akan ditemani bintang, bulan dan api unggun yang akan menghangatkan tubuh. Suatu pengalaman yang tidak semua orang dapat merasakannya, Sentosa.
Pada musim haji tahun lalu di Gunung Bawakaraeng, Sulawesi Selatan 2829 mdpl (meter dari permukaan laut). Saya, Tim Jejak Petualang Trans7 dan Medina Kamil menyaksikan perayaan ritual shalat ied di puncak gunungnya. Semangat keakraban sangat terasa dikala menyeruput kopi bersama-sama. Bahkan secangkir diteguk berlima atau berenam secara bergantian. Di gunung secangkir kopi dapat menumbuhkan semangat kebersamaan, sependeritaan dan sepenaggungan.
Menghangatkan tubuh dengan tegukan kopi (dok. pribadi) |
Berbeda pula ceritanya pada awal tahun lalu, dalam pendakianku ke atap Sulawesi Puncak Gunung Rantematio, 3478 mdpl. Sepanjang pendakian pulang pergi di guyur hujan lebat. Jarak pandang hanya lima meter, Nyaris terhempas badai di Puncak tertinggi Sulawesi adalah gambaran betapa ektrimnya cuaca saat itu.
Namun hal yang mampu mengalahkan semua pengalaman itu adalah saat menyeruput kopi hitam racikan anak gadis Pak Mellu dimana rumahnya kami jadikan basecamp di perkampungan Baraka, kaki gunung Latimojong. Setiap tegukannya membuat sekujur tubuh kembali menghangat setelah di guyur hujan seharian. “Ini adalah kopi asli Baraka”, kata Pak Mulle sambil menunjukkan pohon-pohon kopi di sekeliling rumahnya.
Setiap petualangan mendatangi tempat-tempat baru sebaiknya kita menyempatkan mengenal lebih banyak hal baru tentang adat istiadat, budaya, bahasa dari daerah tersebut. Dan setiap daerah di kaki gunung selalu memiliki kopi asli dan cita rasa khas tersendiri. Maka dari itu saya selalu mencicipinya.
Kopi merupakan barang wajib yang harus selalu ada dalam packingan carrier untuk setiap kegiatan naik gunung. Tentu saja selain perlengkapan wajib lainnya. Pada kesimpulannya, setiap naik gunung cerita tentang secangkir kopi adalah hal yang tak pernah habis diceritakan dalam buku catatan perjalanan. Kita akan selalu bermemori untuk setiap tegukannya.
Kunjungi juga di :