“Gunung Bawakaraeng pagi itu tampak tertutup kabut tebal disertai desiran angin dan hujan dengan sesekali bergerimis tapi mentari pagi belum juga menampakan sinarnya. Dari lokasi kami bercamp dan mendirikan tenda terlihat ada beberapa jamaah berpakaian putih-putih bersorban serta berkerudung, mereka dengan rapi membentuk shaf dan dipimpin oleh seorang imam untuk mendirikan shalat ied disekitar tugu triangulasi. Pada kondisi cuaca yang cukup dingin seperti ini mereka tetap melaksanakan shalat idul adha dengan khidmatnya mengikuti khutbah serta berdo’a lalu bersalam-salaman saling memaafkan”.
shalat ied di puncak bawakaraeng |
Ini adalah sebuah perjalananku yang sangat disengaja diakhir tahun 2011 kemarin, saya temukan suatu peristiwa yang memang agak unik, langka, seru serta menarik dan hanya bisa kita jumpai di Sulawesi Selatan, tentunya. Bersama teman-teman dari tim sar unhas, saya ikut mendaki gunung bawakaraeng 2829 mdpl sebagai salah satu gunung tertinggi di Sulawesi selatan. Setiap tahunnya mereka akan mendaki gunung tersebut untuk melaksanakan siaga rutin sebagai antisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. “Pada agustus 1987 ritual seperti ini memakan korban 12 orang meninggal dunia” (sar unhas makassar)
Pilihan ke sana, karena ingin menikmati suasana berlebaran di tengah-tengah alam pegunungan yang masih alami. Selain itu, ingin mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan “ritual shalat ied” yang konon menurut beberapa cerita yang beredar jika mereka, “melaksanakan shalat” di puncak gunung Bawakaraeng, sama dengan naik haji sesungguhnya di tanah suci mekkah. Namun yang aku temukan berbeda mereka hanya menjalankan shalat ied saja dan naik haji sesungguhnya itu hanya di Mekkah bukan di Bawakaraeng. “Naik gunung bawakaraeng untuk naik haji itu tidak benar dan itu salah’’ Ujar Karaeng Kila, salah seorang warga yang juga melaksanakan shalat dipuncak.
jingga di pos 6 |
Gunung Bawakaraeng terletak di Kabupaten Gowa dan termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Lompobattang. Bagi masyarakat setempat memiliki arti Mulut Tuhan. Pada musim haji seperti ini, gunung bawakaraeng selalu ramai didatangi oleh warga dan beberapa pendaki untuk melaksanakan shalat idul adha di puncak gunung. Menurut data yang saya peroleh jumlah tahun ini kurang lebih 47 orang dan lebih banyak dibanding dua tahun terakhir. Namun warga yang akan melakukan ritual bukan berasal dari warga dikaki gunung melainkan dari beberapa kabupaten disekitar gunung bawakaraeng.
Untuk bisa menyaksikan pelaksanaan shalat idul adha di gunung bawakaraeng pada bulan haji seperti ini, kami harus mendaki minus dua hari sebelum pelaksanaan hari H. Start dari Kampus Unhas Makassar menuju Dusun Lembanna Kabupaten Gowa di kaki gunung bawakaraeng membutuhkan waktu sekitar 4 jam menggunakan mobil carteran. Masyarakat Dusun Lembanna sangat akrab dengan para pendaki. Kita bisa menginap dirumah warga dengan tidak dimintai imbalan sepersenpun.
Saya dan beberapa teman dari unhas berjumlah 10 orang. Namun ada 5 orang teman media yang ikut bersama dalam tim kami kebetulan akan meliput pelaksanaan shalat idul adha diatas. Mereka adalah dari Jejak Petualang dan hostnya yaitu Medina Kamil. Kalau ada sahabat blogger yang sempat nonton tayangannya disalah satu stasiun tv pasti akan mengenal saya.. hehhee..
Minus dua hari kami sudah melakukan pendakian. Jam 8 pagi waktu Dusun Lembana, setelah berdoa kamipun mulai melakukan pendakian. Jumlah tim dibagi menjadi dua, tim pertama yang membawa logistik dan tenda berjalan duluan bersama 4 orang porter yang membawa barang dan perlengkapan kamera dari media. Tim kedua termasuk saya sendiri akan menemani Jejak Petualang karena pada beberapa pos/tempat harus mengambil gambar.
berpose dalam satu tim (jejak petualang) |
Tim pertama telah sampai di puncak pada jam 5 sore dan sudah mendirikan tenda. Sedangkan saya dan tim kedua baru sekitar jam 7 malam. Jika saya mengkalkulasi durasi waktu tempuh perjalanan normalnya yaitu 9 hingga 10 jam. Jalur pendakian gunung bawakaraeng adalah menanjak dan menurun lalu akan melewati hutan tertutup dan pada beberapa pos akan mendapati daerah terbuka dengan pemandangan yang menakjubkan mata.
Satu hari sebelum lebaran haji. Beberapa warga dan pendaki sudah mulai berdatangan ke puncak gunung bawakaraeng. Ada dua jalur yang bisa ditempuh yaitu melalui jalur lembanna kab. Gowa dan bisa melalui Kab, Sinjai. Diantara beberapa jamaah tampak terlihat ada seorang anak yang masih duduk dibangku kelas dasar. Suasana pada malam hari sangat ramai, terlihat juga api unggun pada beberapa tenda para pendaki. Mereka sedang menikmati bintang dilangit dengan sangat terangnya. Menurutku inilah momen terbaik ketika mendaki gunung yaitu menikmati secangkir kopi bersama sembari ditemani bintang-bintang atau bulan.
Saya melihat perlengkapan pendakian mereka masih seadanya. Sebagian tenda yang mereka gunakan adalah terpal bukan tenda dome. Namun fisik dan daya tahan tubuh mereka mampu menahan hawa bawakaraeng yang cukup dingin itu, saya cukup terkagum-kagum akan hal ini. “luar biasa” pikirku.
Puncak Gunung Bawakaraeng Tanggal 10 Dzulhijah.
dok. didie putri (jejak petualang) |
Pada momen yang berbahagia seperti ini saling bersilaturahim adalah salah satu hal yang bisa kita lakukan. Sayapun menyempatkan diri ke tenda-tenda warga yang telah selesai melaksanakan shalat. Bercerita bercanda dan sedikit mendapat informasi jika beberapa dari mereka telah melakukan ritual seperti ini secara turun temurun. Hari itu juga kami mendapat berkah menikmat makanan ala lebaran puncak gunung bawakaraeng yaitu ayam goreng. Tentu saja ini akan mengalahkan menu makanan kami yang sudah dua hari hanya mengkonsumsi indomie saja.
Sampailah pada kesimpulan apa yang saya lihat bahwa mereka yang melaksanakan shalat idul adha di Gunung Bawakaraeng adalah sama halnya dengan tata cara masyarakat umumnya baik di mesjid-mesjid atau ditanah lapang pada waktu lebaran haji. Anggapan beberapa masyarakat yang mengatakan tentang mereka yang bergelar haji gunung bawakaraeng itu adalah salah seperti yang dikatakan oleh Karaeng Kila sebelumnya.
Setelah melihat dan merasakan suasana berlebaran diatas gunung. Saya menyebutnya berlebaran diatas awan. Siang hari itu juga kami dan warga serta pendaki lainnya mulai meninggalkan puncak Gunung Bawakaraeng. Akhirnya kembali pulang dengan selamat dan membawa segudang cerita menarik untuk dikisahkan.
Kapan-kapan jika ada waktu sahabat blogger bisa mendaki bersama saya serta menyaksikan secara langsung suasana berlebaran di tengah-tengah alam pegunungan yang masih alami. Saya pastikan akan mendapatkan pengalaman dan sensasi yang berbeda dalam perjalanan wisata anda. Siapkan saja fisik, mental dan perlengkapan anda!!!
*) Catatan yang bisa saya sobek dalam rekaman perjalananku di bulan November 2011
Tulisan ini bisa juga dikunjungi di :
http://blog.kompasiana.com/2012/07/13/pemenang-kompasiana-opera-travel-blog-competition/
http://blog.kompasiana.com/2012/07/13/pemenang-kompasiana-opera-travel-blog-competition/