November 28, 2013

November Sakral, Bulan Kelahiran Para Petualang Juga Kelahiran Blog ini!

Sungguh ini nikmat bersama berbatang-batang tembakau yang mengepul memenuhi ruangan ini. Juga kopi pekat telah menjadi jamauan penutup malam yang barangkali akan menjadi sarapan pagi esok harinya. Ritual semacam ini telah menjadi akut bersamaku, kafein telah menjadi asupan energi pembangkit adrenalin. Semoga senantiasa menguatkanku bukan melemahkan seperti asumsi tanpa berdasar beberapa orang kepadaku tempo hari.

Kini november kembali menyapaku, membawa harapan dan kenangan juga semangat yang kadang mengetuk-ngetuk pintu jiwa. ya! perjalanan harus terus berlanjut untuk meniti setiap waktu gerak semesta. Namun, kembali aku harus menulis lirik masa depan lalu menyimpannya dalam otakku atau pada buku catatan kepunyaanku dengan satu harapan november dan musim yang baru saja dimulai ini selalu berdamai denganku. oh, semesta berikanlah restumu kepada hamba.

Sakral, sungguh ini bulan yang sakral dengan satu alasan akulah kaum adam yang terlahir di penaggalan ganjilnya, tepatnya di ujung tenggara sulawesi yakni pada pulau pandai besi, Binongko. Bahagialah diriku yang tiada tara, bahagialah pula perempuan mulia yang telah melahirkanku. Tak perlu ucapan dari orang terdekatku terlebih itu datangnya dari calon kekasih jiwa atau kawan lama yang telah meneguk manis kesuksesan dengan segala kesibukan rutinitasnya.

Selalu ada perayaan khas tersendiri untuk menghormatinya. Yakni naik gunung dengan  hanya berkawan kerel dan sepatu lapangan serta malam-malam dingin yang nyaris membunuhku. Bahwa berada dipuncak gunung adalah tempat yang lebih dekat dengan pemilik semesta dan penguasa jagat ini. Lirik akan masa depan terlafazkan dari tempat itu, telah kutiupkan dengan mimik penuh harap ke langit. semoga selurus isi semesta bersekutu mengamininya.

Mengenai bulan november yang identik dengan awal musim nyanyian hujan ini peristiwa penting lainnya terjadi di dalamnya yakni halaman peraduan ini, gurila405 tak bermakna yang kalian baca sekarang terlahir pula pada bulan november ini tepatnya tahun 2011 lalu. Entah semua ini disengaja atau hanya kebetulan saja tetapi dengan kitab survive yang telah terkhatam itu, semoga senantiasa blog ini mampu  bertahan dan terus menghasilkan tulisan yang akan kuhadiahkan kepada anak-anakku, kelak!

Akhirnya, aku ingin melafazkan "bahagialah kita petualang yang terlahir di bulan ini, semoga setiap langkah mendapat restu dari pemilik alam raya. panjang umurlah kita..."


Makassar, merayakan tanggal 21 november

November 22, 2013

Barang Mahal itu bernama Kesadaran

"Terkadang beberapa pendaki gunung berikrar bahwasanya dirinya mencintai alam tetapi sering pula mengingkarinya dimana sampahnya dibiarkan tertinggal diatas gunung sana"

Pencipta semesta menganugerahkan semesta alam ini amat kaya raya dengan segala isinya tanpa kesia-kesiaan belaka untuk dinikmati oleh makhluk penghuni jagat. Gunung-gunung tinggi menjulang bercerita tentang kebesaran penciptanya, bunga merekah ditepian lembah  berbicara akan keindahan, serta kabutnya adalah keabadian. Pohon-pohon serta gemercik merdu aliran sungainya yakni nafas kehidupan, maka bentuk balasan kesyukuran manusia atas hal itu adalah menjaga pemberian tersebut untuk keberadaan kelangsungan kehidupan yang seimbang.

Lalu seberapa besar kesadaran itu ada pada palung terdalam hati ataukah hanya mengendap saja disana tanpa terketuk atau tersentuh. Lihatlah kondisi kekinian gunung-gunung di bumi yang terberkahi ini, kita menemukan wajahnya mulai tak elok lagi. Sampah-sampah bermerk berserakan dimana-mana. siapa yang patut dipersalahkan akan kondisi ini, entahlah?

Sampah di Gunung Bawakaraeng (dok. pribadi)
Slogan dan ajakan atau peringatan tentang menjaga hutan dan lingkungan hanyalah kata-kata manis bernuansa puitis yang tertulis indah lalu terpajang disana sini. Sampah tetap saja menjadi sampah yang kotor dan pasti mengotori sekitarnya. Semakin gemar dan bertambahnya orang-orang yang mendaki gunung menjadi penyebab volume sampah bertambah banyak pula. Begitu pula dengan aksi vandalisme, mencoret-coreti batang pohon atau melukis nama pada batu-batuan di hutan sana dengan sangkur atau belati juga cat. Seandainya bisa mengeluarkan suara pastinya pohon dan batu itu akan menjerit kesakitan, duh!!

Beberapa hari lalu saya naik gunung. Sampah begitu mudahnya dijumpai dimana-mana diantara pos perpos persinggahan atau ditempat yang layak dijadikan camp. ya! itu pasti sampah plastik milik para pendaki yang lupa atau sengaja lupa terpacking dalam kerel, tentu dugaan ini tidak salah lagi.

Mereka yang mendaki gunung kadang hanya ingin memenuhi hasrat menikmati pemandangan keindahan semesta semata lalu mengabaikan, melalaikan  kewajibannya menjaga keindahan tersebut. Kesadaran itu bernilai mahal tak banyak yang memiliki rasa demikian. Sungguh amat langka rasa itu ada pada diri pendaki gunung. Jika tidak, mana mungkin digunung sana sampah-sampah akan bertebaran dan begitu gampangnya dijumpai.

Kepada kita yang gemar naik gunung, alangkah baiknya bungkusan-bungkusan makanan yang kita bawa keatas sana sepatutnya dibawa turun kembali. Mari menjaga keindahan semesta agar tetap lestari. Adakah kesadaran itu ada pada diri kita atau sama sekali telah hilang???

Makassar, 22 november 2013. 
Menulis setelah melihat sampah semakin mudahnya dijumpai digunung sana.

October 27, 2013

Kesukaran Menulis. Menjadikannya Putus Sekolah


Ilustrasi : Kompas.com
Tulisan ini berangkat dari hasil perenungan tentang rentetan peristiwa masa lalu yang kemudian mencoba dihadirkan kembali ke halaman peraduan ini. Terlintas dalam ingatan waktu itu masih duduk dibangku kelas dua pada zaman  mengenakan pakaian sekolah putih biru.  Benar, saya atau kami telah menghabiskan tiga tahun sekolah menengah pertama di kampung  halaman yakni pulau ujung tenggara.

Saya mengakui daya membaca dan kemampuan menulis kita masih amat rendah bahkan mengalami kesulitan yang sangat berarti kala itu. Saya mendapati diri layaknya demikian, sangatlah sukar menulis atau mengerjakan tugas yang berkaitan dengan mengarang. Entahlah apapun penyebabnya, tapi barangkali tehnik atau perbendaharaan kosakata masih minim lalu susah dinarasikan menjadi konstruksi  kalimat penuh makna hingga menarik dibaca.

Satu tahun menduduki bangku kelas dua selalu saja mengalami kendala tiap kali menghadapi mata pelajaran bahasa indonesia dimana waktu itu seorang ibu guru sebagai pengampunya, sungguh tidak etis jika menuliskan namanya pada halaman blog kacangan milik saya ini. Sebelum mengawali pelajarannya terlebih dahulu semua murid diharuskan mengabadikan dan mengarang tulisan  tentang pengalaman setiap pribadi yang terjadi selama seminggu itu lalu diceritakan atau dibacakan di depan kelas pada hadapan teman-teman lainnya. Ini berlangsung selama setahun.

Bagi saya ataupun yang lainnya mata pelajaran bahasa indonesia adalah momok menakutkan. Terkadang saya kehabisan ide dalam menghadirkan tulisan yang diwajibkan oleh ibu guru tadi. Kualitas tulisan sangatlah minim makna atau kurang berarti dan tak bernilai apa-apa. Ya! menulis menjadi hal yang tersulit dalam proses belajar bahasa indonesia oleh karenanya tidak semua orang mampu melakukan hal ini. Ada banyak orang tak menyenangi menulis dan segala hal terkait didalamnya. Semoga kalian tak mengalami hal yang sama adanya.

Pada saat itu, seorang teman saya memutuskan untuk putus sekolah demi menghindari tiap minggunya harus berhadapan dengan pelajaran bahasa indonesia dengan segala keharusannya yakni mengarang pengalaman pribadi. Ia tak mampu survive dalam  menghadapi hal itu. Saya telah lupa nama lengkap bahkan panggilannya. Tetapi kesukaran menulis telah membuat seorang murid mengandaskan harapan dan cita-cita akan masa depannya.

Sekolah sebagai wadah dan media pembelajaran juga memperoleh hak pendidikan sebagai warga negara. Bangku sekolah seharusnya menjadi tempat menumbuhkan dan menguatkan harapan setiap orang kemudian menggantungkan cita-citanya lebih tinggi lagi. Lalu,  Siapa yang pantas harus disalahkan atas hal ini? Apakah ibu guru yang salah menerapkan metode kedalam proses belajar mengajar kepada murid-muridnya. Saya tak ingin menuduh siapa-sapa. Satu yang pasti, kesulitan menulis telah mengubur asa orang-orang yang mengasihinya, Ia telah putus sekolah. Semoga sekolah bukan menjadi satu-satunya jalan untuk bahagia ataupun menuju sukses.

Menggiatkan menulis atau mengarang pengalaman pribadi seperti ini cukuplah baiklah maksud dan tujuannya. Saya amat memaklumi ihwal ini juga memberikan apresiasi lebih atas ikhtiar seorang guru untuk memajukan didikannya. Namun kemampuan dan imajinatif seseorang tidaklah sama. Menulis haruslah berproses dari hal sederhana dengan berawal apa yang disukai pada gaya bahasa atau karakter  menurut perbendaharaan kosakata yang dimilikinya. Memulai belajar menulis haruslah seringan mungkin dan menyenangkan.

Menuangkan ide tulisan ke atas kanvas putih membutuhkan waktu apalagi ini terjadi pada kelas dua sekolah menengah pertama, sekali lagi ini sangatlah sulit. Jika itu tak mampu dilakukan oleh semua orang maka biarkanlah karena itu adalah pilihan yang patut dihargai. Kelak, seseorang akan menemukan sendiri jalannya entah  kapan barangkali hanya perkara waktu saja yang akan mendamaikannya.

Menulis membutuhkan perenungan lebih, dalam mengungkap-menangkap setiap fenomena yang terlintas dikepala lalu dituangkan dalam kata-kata. Membiasakannya pelan-pelan akan menjadi terasah tajam nantinya. Tak perlu menyerah untuk menuangkan pemikiran-pemikiran kita menjadi sebuah catatan entah itu penting bagi orang lain, setidaknya kita menyukainya. Ingat, menulis adalah proses menajamkan insting.

Sekali lagi menulis adalah proses belajar menuju ke suatu titik, dari satu tangga melewati tangga selanjutnya. Ada banyak hal keajaiban yang akan diketemukan dalam perjalanannya, pada setiap goresan pena yang kita torehkan. Saya memercayai itu. Sebelum kekosongan itu benar-benar datang menduduki sel-sel otak maka mari membiasakan menulis dan saling mengabarkannya. Maaf, saya kesulitan merangkai kata-kata penuh makna untuk menuntaskan halaman ini.

Makassar, dihari blogger nasional

October 21, 2013

Sesungguhnya Jodoh tak jauh. Bidadari itu teman lama, Hadir pada Satu Kelas yang Sama!

Selamat merayakan pesta & senantiasa berbahagialah dalam menikmati salah satu puncak-puncak kebahagiaan itu, perkawinan yang sakral dalam ikatan suci pada jumat religi nan sakral ini. Semoga Pemilik Cinta menganugerahkan cinta, kasih juga sayang yang lebih besar setiap harinya kepada kalian hingga tua renta, kelak. Hormat saya kepada VennyWahyusari & Abdul Rauf, tetaplah bersahaja. Minggu lalu ke gunung, dari atas sana saya sudah meniupkan doa terbaik untuk kalian. semoga alam raya dan seluruh isi semesta turut mengamininya.

***
Kembali Sang Pemilik Cinta menunjukkan kuasa dan memperlihatkan kebesaranNya, barangkali ini jawaban atas doa-doa yang terpanjatkan ke langit selama ini. Tepat hari ini, dua orang sahabat saya melangsungkan prosesi kesakralan dalam memasuki jejang kehidupan yang baru yakni pernikahan untuk sebuah keluarga bahagia hingga tua renta setelah dikaruniai banyak anak yang gagah dan cantik lagi berbakti kepada mereka dan tanah tumpah darah tomia, semoga!

Sejauh mana kita mengembara dan berkelana hingga mengenal sebanyak mungkin orang, jika sudah pada waktunya pastilah akan bertemu di momen tepat yang bernama berjodoh, entah itu dengan siapa. Penghuni bumi diciptakan untuk berpasang-pasangan dalam menjalani kehidupannya agar saling menguatkan. Saya meyakini itu, percayalah!

Sungguh mereka berdua adalah sahabat terdekat saya, amat dekat sudah seperti saudara sendiri. Semenjak duduk dibangku sekolah menengah pertama kami sudah berteman dan begitu akrab. Kami juga sekelas bersama pada masa mengenakan putih biru itu. Cerita ini terus berlanjut pada tingkatan sekolah menengah atas di dunia putih abu-abu. Lagi-lagi saya sekelas bersama Rauf. Disinilah kami berjumpa dengan Venny Wahyusari. Entah ini kebetulan atau bukan, tapi saya meyakini ini sudah tertulis rapi oleh pemilik langit penulis skenario terhebat.

Tiga tahun bersama, sekelas yang sama pula. Saya memperhatikan tak ada yang istimewa ataupun lebih dari pertemanan mereka hanya berjalanan biasa-biasa saja. Ketika itu, mereka berdua hanya sering mencanda, bergurau atau bertengkar kecil-kecilan dalam keluguan masing-masing. Hari-hari berlalu hingga kami menamatkan tiga tahun di sekolah menengah atas tanpa mendengar mereka menjalin kasih kemudian berpisah dan memilih tempat studi yang berbeda. Saya di makassar, Rauf di Kota Baubau dan Venny menimba ilmu pada ibu kota propinsi, Kendari.

Detik berganti, bulan berlalu pun cerita berganti, keduanya mulai menjalin kasih. Adanya endapan kesan yang terbawa sewaktu masih di sekolah menengah atas kini mulai muncul kepermukaan. Kekaguman mulai berubah menjadi benih-benih cinta hingga terus tersemai semakin tumbuh besar lalu mengakar kuat. Dibatasi letak geografis yang berkejauhan, segala aral melintang bukanlah menjadi suatu perkara bagi keduanya untuk selalu memupuk cinta mereka.  

Sewindu usia kasih mereka terus tumbuh bermekaran. cobaan selalu saja datang menggoyahkan menguji ketulusan cinta mereka yang menjadikannya semakin menguat. beberapa kali mengalami pasang lalu surut, diterpa badai lalu berpisah. Spasi jarak selalu saja menjadi bahan renungan dan pembelajaran untuk memperbaiki satu sama lain. Cinta selalu saja menemukan jalannya sendiri, kembali mereka bersatu dan berjodolah mereka hingga akhirnya memutuskan melangsungkan kejenjang hubungan yang di halalkan yakni menikah. Barangkali benar perkataan, jodoh adalah seberapa besar dan sejauh mana kita mampu mempertahankannya.

Terlampau sering mereka bercerita tentang rencana pernikahannya ini, saya turut mengamini kabar baik itu. Walaupun berkejauhan kami bertiga sering berbincang via konferensi telepon entah hanya bercanda atau berbagi solusi atas suatu masalah. Telah menjadi bagian terbaik dalam pertemanan  ini maka selaknyalah saya memberikan doa terbaik  untuk mereka. Kepada pemilik cinta semoga menjadikan kalian senantiasa berbahagia  hingga maut memisahkan ikatan perkawinan kalian. Bergandengan tanganlah hingga ke surga-Nya, kelak.

***
Kadang ada cemburu yang teramat dalam melihat cerita mereka, tapi juga perasaan bahagia itu tak bisa disembunyikan. Rupanya jodoh itu tak jauh,  ia terlalu dekat yaitu teman kita sendiri. ya! Bukan hanya mereka berdua saja tapi beberapa orang teman saya dikelas yang sama telah bertunangan sesama mereka. Sekali lagi, jodoh itu terlalu dekat maka mari mencari dan merabanya.

Ini jumat religi semoga keberkahan menaungi pernikahan kalian. Kepada Venny dan Rauf semoga menjadi keluarga bahagia, itu doa saya. Maafkan tidak bisa hadir pada jarak yang lebih dekat.
 
Makassar, 18 oktober 2013

October 14, 2013

Menggiatkan Naik Gunung. Kepada Anak Pulau Tomia

"Bara buntu te tai ijo kene one mohute ikampoto na ako tesi'into, mai tofila ka gunnu tonamisi tekengku mia mempisi kene topoafa te lono"
Foto Dok : Alun

Tak terpungkiri. Ada suatu kebahagiaan tersendiri bagi saya, batin ini terpuaskan ketika mampu mempertemukan orang-orang yang hendak menjumpai kabut keabadian, merasakan tiupan sepoi angin kebebasan digunung lalu menyatu bersamanya. Mempertemukan mereka dengan kondisi penuh damai di lembah sana diantara tebing-tebing batu puncak bawakaraeng dan bulu baria yakni Lembah Ramma, tanah lapang nan hijau di tengah-tengahnya dialiri sungai bergemercik merdu.

Saya bukanlah orang yang gemar mengajak lalu meracuni pikiran orang banyak untuk mengikuti jejak saya menjadi pendaki gunung. saya tak sedemikian, percayalah!! Satu yang saya pahami dengan jenis olahraga ini adalah sangat membahayakan jiwa walau sebanding dengan kepuasan-kepuasan yang diperoleh bersamaan itu. Maka dari itu, jauh hari sebelum melakukan perjalanan saya harus menggenjot fisik mereka dengan bina jasmani itulah yang akan membuat kita tangguh.

Tetapi juga akan menjadi dosa besar dalam sejarah perjalanan hidup sebagai predikat pendaki ketika tak menyampaikan  hasrat mereka  atas panggilan alam untuk sejenak merenung-melung menyatu bersama alam. Keindahan itu harus dikabarkan maka saya menemani mereka naik gunung. Mendekatkan diri dengan Tuhan bisa dilakukan dengan naik gunung, saat berada  diatas puncak  bahwasanya kita akan menyadari Tuhan itu maha besar atas ciptaanNya. Maka lihatlah gunung-gunung itu bukan sebatas bongkahan-bongkahan batu, ya! mari memaknainya.

Atas perjalanan ini, saya merasa dan beranggapan telah mentradisikan mendaki gunung hingga secara tak langsung ikut menggiatkannya. Bahkan setelah ini mereka ingin ke puncak gunung lainnya, saya hanya mengamini perkataan mereka selebihnya pemilik semestalah yang berhak  merestuinya. Kalian bersiaplah untuk petualangan selanjutnya!!!

Kita tak perlu membawa bendera dari komunitas mana kita ini ketika mendaki karena semua itu hanya akan menjadi pembeda diantara sesama. Siapa paling terang benderang benderanya, paling kuat fisiknya atau yang termahal sepatu gunungnya. Bukanlah apa-apa saat kita berada di alam terbuka seperti ini, tak ada yang terkuat. Kami cukuplah menjadi freelancer tanpa kode etik tertentu. Kita hanya perlu menghargai sesama, melempar senyum dan menyapanya saja dan paling pentingnnya sampah-sampah   kemarin telah kita bawa pulang ke kostan ini. Menurut saya, yang demikian adalah prestasi dibanding mereka yang hanya meninggalkan sampah bermerknya di gunung sana.

Kepada kita bertujuh. Semoga perjalanan ini bukan hanya untuk memenuhi keinginan agar bisa melihat keindahan semata. Tetapi juga pendakian ini dapat memberikan hikmah atau menjumpai diri sendiri sejatinya seperti apa dan melihat sisi lain diri masing-masing. Serta pendakian ini menjadi tempat dimana diri dapat merenungi makna hidup dan kehidupan.


Foto dok. Zule

***
Kami hanya orang pulau yang ingin juga melihat kabut yang romantis dan bertemu angin kebebasan yang sering dibicarakan orang banyak itu. Lalu setelahnya akan kami ceritakan kepada orang-orang pesisir, anak pantai dikampung kami Tomia bahwa selain pasir putih dan laut yang membiru rupanya diatas gunung tak kalah indahnya ciptaan Tuhan itu. Maha besar kuasa dan ciptaanNya.

*) Catatan pejalan freelancer. 
 Fila-fila ka Lembah Ramma kene ammai Tomia 

Makassar, awal oktober

October 09, 2013

Melihat Lebih Dekat Peti-peti mati di Tebing Batu Kete’Kesu, Tana Toraja


“Dalam bahasa yang  tidak saya mengerti, syair-syair lagu toraja mengalun pelan memenuhi ruangan dalam bus saat melaju melintasi beberapa kabupaten. Romantis mungkin, sembilan jam perjalanan Makassar-Toraja”

Diantara tongkonan di Kete'kesu (foto : Ayub R.)
Menyambangi bumi Lakipadada adalah mimpi lama yang kini telah terwujud. Ada kekaguman dalam diri akan keunikan daerah ini. Saya memperhatikan bangunan-bangunannya kebanyakan berbentuk tongkonan sebagai ciri khas rumah tradisional Toraja. Sebagai seorang pejalan, barangkali mengunjungi Tana Toraja adalah suatu keharusan untuk melihat keindahan lain bumi Indonesia, bertemu wajah-wajah yang baru, kebudayaan serta bahasanya. Kita tak seharusnya kalah dengan wisatawan mancanegara yang banyak berkunjung kesana dan itu banyak saya lihat dan jumpai.

Secara administrasi Toraja teletak pada propinsi Sulawesi Selatan dan terbagi dua yakni, kabupaten Tana toraja dengan ibukota Makale dan Kabupaten Toraja Utara beribu kota di Rantepao. Ketika melewati Kabupaten Enrekang bus yang kami tumpangi terlebih dahulu akan memasuki Kabupaten Tana toraja. Nah, di kota Makale ini terdapat kolam yang luas ditengah-tengahnya berdiri replika patung Lakipadada, ia dahulu adalah seorang pejuang/bangsawan yang amat melegenda. 

Salib raksasa nampak dari kejauhan (foto Ayub. R.)
Selanjutnya barulah memasuki Toraja Utara di kota Rentepao. Disinilah saya dan beberapa teman selama empat hari berada untuk suatu kegiatan. Pada salah satu sudut kotanya tepat dipertigaan jalan adapula patung Tedong Bonga bersama seorang anak kecil sebagai penggembalanya. Tedong sangat erat kaitannya dengan kebudayaan tana toraja. Tedong biasanya akan disembelih pada saat perayaan upacara kematian. Harga untuk seekor tedong bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Fasilitas-fasilitas umum kota rantepao, kantor pemerintahan semua bangunannya adalah bercirikan tongkonan. Disatu bukit kota Rantepao dibuat salib dengan ukuran raksasa dan dari beberapa penuturan teman saya, inilah salib yang terbesar di dunia. Dan salib itu terlihat jelas dari kejauhan diketinggian.

Sebagai seorang muslim ada suka duka saat berkunjung ke Toraja yakni mencari warung makan halal. Tapi tak perlu khawatir dan ragu karena di Kota Rantepao banyak terdapat rumah makan muslim. Juga terdapat mesjid tetapi uniknya arsitekturnya terdapat tongkonan tepat pada bagian depannya. Disekitar mesjid ini terdapat pula sekolah untuk mewadahi pendidikan warga muslim. Ini menandakan Toraja begitu toleran terhadap kehidupan antar beragama.

Kuburan di tebing Kete'kesu (foto Ayub. R.)
Selama berada di Toraja, satu hari  saya menyempatkan waktu mengunjungi kuburan batu di Kete’Kesu. Akan sangat merugi jika tidak sama sekali mengenal dan melihat keunikan-keunikan tersendiri dari Toraja. Kete’Kesu merupakan salah satu diantara tempat lain dari kuburan mayat orang Toraja. Setelah melewati proses ritual/upacara pemakaman Rambu Solok barulah akan dibawa kesini, mayat-mayat itu akan dikubur bersama petinya dengan cara ditempatkan diatas batu pada tebing yang tinggi dengan cara melubanginya. Saya atau kita bisa membanyangkan betapa sukarnya melubangi batu di tebing itu. Dalam lubang itu akan ditempati peti-peti mayat untuk tiap satu keluarga.

Peti dalam gua Kete'kesu (foto Farul H.)
Adapula yang disimpan dalam gua. Untuk masuk dan melihat, mensusuri peti-peti dalam gua tersebut kita cukup membayar jasa pengantar dengan tarif Rp20 ribu dengan sekali antar. Mereka adalah beberapa orang anak kecil memandu dengan penerangan senternya. Selain saya, ada cukup banyak pengunjung yang hendak melihat peti-peti dalam gua tadi. Penuturan anak kecil tadi, terakhir  kali pada lima bulan yang lalu  mayat dalam peti dibawa ke tebing Kete’kesu ini.

Saya melihat banyak tulang belulang di sekitar kuburan batu ini, dibawah tebing Kete’kesu. Beberapa peti nampak sudah mulai lapuk dan rusak. Diantara peti-peti itu ada yang berbentuk kepala kerbau tapi adapula yang menyerupai bentuk kepala babi. Beberapa orang termasuk saya menyempatkan mengabadikan gambar bersama tulang-belulang dan peti-peti tadi. Diantara peti-peti dari kuburan itu, ada yang hanya ditempatkan dibawah tebing dengan membuatkannya bangunan rumah beton yang berukuran kecil.

Peti mati menyerupai kepala babi (foto Farul H.)
Peti mati menyerupai kepala kerbau (foto Farul H.)
Sebelum memasuki kawasan wisata kuburan batu tebing kete’kesu terlebih dahulu kita akan menjumpai banyak tongkonan yang saling berhadapan satu sama lain. Pada bagian depan tongkonan itu tersusun banyak tanduk tedong/kerbau. Di dalam tongkonan dijadikan sebagai tempat menyimpan hasil-hasil pertanian seperti padi. Disekitar kawasan ini, Ada banyak penjual yang menjajakan cendera mata khas toraja misalnya sarung hitam toraja, baju-baju bermotif tongkonan, parang toraja, replika berukuran kecil dari tongkonan atau lainnya yang kesemuanya dipatok dengan harga tertentu. Dan sayapun membeli baju khas toraja untuk oleh-oleh dibawa pulang.

Dikarenakan ada hal lain yang tak bisa ditinggalkan, waktu satu hari untuk mengunjungi tempat-tempat unik di Toraja sangatlah tidak cukup dalam mengetahui lebih banyak kebudayaan ataupun adat istiadatnya. Tapi catatan saya, toraja adalah daerah yang begitu unik, pun penduduknya  begitu ramah terhadap pendatang termasuk kepada saya. Berdasarkan info yang saya dapat pada kisaran bulan november-desember-januari biasa akan diadakan pesta rakyat toraja dan pada saat itu pengunjung baik dalam negeri atau wisatawan luar akan banyak berdatangan menyaksikan pesta itu.

Masih banyak tempat yang belum saya lihat dan untuk diketahui ceritanya historisnya. Maka, saya merencanakan akan kembali mengunjungi daerah ini, Toraja dengan keunikan-keunikannya tersendiri. Foto-foto dalam artikel ini oleh kawan pejalan. 

- Catatan jalan, awal oktober 2013.

kunjungi tulisan yang sama di :

September 12, 2013

Tempat Suci bernama D5

Barangkali inilah tempat suci itu, ruangan dengan penuh ketenangan untuk menuangkan segala apa yang ingin membuncah atau meluap-luap dari kepala. Ya! saya ingin mengatakannya ini tempat suci, perkenankanlah. Malam datang saya temukan diri membatin dengan penuh damai layaknya saya tengah berada di atas gunung sana.

Disini saya ingin menulis berapa kisah-kisah perjalanan, kisah keheningan, perihal cinta atau beberapa peristiwa yang begitu sulit di narasikan di warung kopi tempat biasa saya habiskan sepertiga malam atau pada kamar kostan yang telah sewindu ini saya tempati.

Tak perlu saya mendeskripsikan terlampau jauh ini dimana. satu yang pasti disini dikelilingi pohon-pohon begitu rindang nan lebat sebagai paru-parunya kota tua ini yang  mulai menciptakan sendiri rancunnya bernama polusi bukankah yang demikian adalah ciri kota besar layaknya ibukota tanah air ini. Ada kesyukuran dalam diri telah mengenal tempat ini, sungguh!

Malam ini saya hanya ingin melepaskan endapan kesan sebelum apa yang tercipta dikepala berlalu begitu saja atau kembali menjadi kosong. Beberapa perenungan akan saya lakukan ditempat ini. Saya mengetahui, disini jauh sebelum saya berhak menempati ruangan ini, mereka telah melahirkan karya-karya besar atau dari tempat ini terlahir beberapa tesis yang mereka ciptakan.

Kadang ada waktu dan tempat dimana kita bisa dengan mudah mengalirkan kalimat perkalimat menjadi sebuah tulisan yang utuh.  Atau satu tempat dengan gampangnya kita melafazkan kitab-kitab yang dibaca, pun buku-buku itu akan mudah kita pahami isi dan maknanya.

Sekali lagi saya katakan pada kalian, tempat ini suci untuk bersemedi menuliskan beberapa perihal diatas yang belum sempat saya publikasi di halaman ini, termasuk melahirkan tulisan singkat minim makna dan tak bernilai apa-apa yang kalian baca sekarang ini. Malam ini seakan saya berada ditengah oase dengan kesejukannya dan tempat itu bernama, D5.


Suatu malam, di ruang D5 Sar Unhas, September 2013

September 06, 2013

Merayakan kemenangan di kampung, Pulau Tomia [jurnal mudik]

"Petualang hebat lagi tangguh harus dilahirkan dari berjibaku ombak ganas di palung-palung terdasar samudera. Tiga puluh tujuh jam terombang ambing. Ini kisah perjalanan romantis, sungguh"
 
Lebaran segera datang, ya! menyisakan dua hari  lagi menuju hari kemenangan. Saya masih di kota tua itu tak terpengaruh dengan segala hiruk pikuk mudik. Entahlah, tapi pagi itu mendadak handphone berbunyi rupanya orang terkasih di kampung meminta saya untuk mengemas-ngemas pakaian lalu pulang. Lekas, saya bergegas memesan tiket pada travel di salah satu sudut kota itu. Pagi itupun saya memutuskan pulang untuk berlebaran dikampung yakni tanah tercinta Pulau Tomia. Jenis fery, ini kapal terakhir dari Makassar menuju Baubau.

Agustus datang dengan waktu mudiknya, tapi  ini juga adalah musim keras ombak dan angin sebagai pembangkitnya. Sontak saja kapal fery yang saya tumpangi amat terasa dihantam-hantam gelombang. Saat malam saya keluar menyempatkan melihat satu sisi haluan kapal, angin mendesir begitu kencang mengusap-ngusap wajah seakan ingin menyapu yang akan ia bisa bawa. Dari jam ditangan, saya menghitung durasinya dua puluh tiga jam berjibaku ombak menuju pelabuhan murhum baubau. Efeknya kepala terasa oleng bahkan satu orang temanku mabuk laut begitu juga yang dialami beberapa penumpang lain disekitar saya mengambil tempat.

Satu catatan saya tentang kapal ini yakni lamban tapi mampu membuat penumpang puas atas pelayanan makanannya juga menu berbuka puasanya dengan menyuguhkan berapa butir kurma kepada penumpang. Saya rasa ini tak dijumpai pada kapal-kapal lain yang pernah digunakan jasa pelayarannya. Juga ada hiburan yang menemani perjalanan dengan pertunjukan musiknya. Barangkali itu akan sedikit mengurangi segala rasa yang bercampur menjadi satu rasa bernama tidak enak ketika di ombang ambing. Benar saja terlalu lama dan ke-enakan di tanah daratan kemudian mendadak merasakan ayunan gelombang laut selalu saja tidak mengenakkan perasaan.

***
Tepat pagi, embun masih menyelimuti keraton buton itu nampak  jauh terlihat  dari atas kapal. Pun kapal fery telah bersandar di pelabuhan murhum baubau. Semalam telah terlewati dengan penuh perjuangan menguatkan diri agar kondisi tetap stabil karena masih ada separuh sisa perjalanan menuju Pulau Tomia. Sehari sebelum lebaran, rupanya tumpangan kapal kayu rute baubau-tomia tak ada lagi. Kami melewatkannya semalam saat kami masih berada di makassar. Masih mencari-cari info kapal, alhasil kapal terakhir menuju Pulau Binongko akan berangkat malamnya dan disanalah kami menumpang kebetulan akan singgah di Pulau tomia sebelum melanjutkan menuju pelabuhan tujuan yakni binongko.

Meninggalkan pelabuhan baubau, angin dan ombak masih saja  menjadi teman cerita selama perjalanan mudik ini. Bahkan kali ini kapal berayun lebih cepat karena kapal yang saya tumpangi adalah jenis kapal kayu dengan tingkat stabilitasnya yang rendah, hukum kapal memang berbicara seperti itu yakni semakin tinggi kapal maka nilai stabilitasnya akan semakin kecil dan itulah yang saya lihat dari kapal-kapal yang ada di pulau tomia. Maka dari itu terombang ambing akan gelombang adalah seni setiap mengunjungi tomia, maka sukailah.

Malam begitu pekat tanpa bintang. Suara gelombang, angin yang mendesir dan bunyi mesin kapal beradu padu mencipta nada-nada pengantar tidur. Saya memilih cepat merebahkan badah ke kasur yang disediakan untuk menghindari agar kepala tak merekam setiap hantaman gelombang yang bisa membuat oleng kepala. Hingga abk kapal membangunkan semua penumpang untuk makan sahur. Lagi, Empat belas jam menikmati nyayian ombak hingga kapal memasuki perairan tomia. Selain saya beberapa penumpangpun turun dengan menggunakan jasa ojek laut berupa kapal kecil berukuran sepuluh hingga lima belas orang. Ini dikarenakan kapal yang kami tumpangi tidak bersandar di pelabuhan. Dan kapal tadi melanjutkan pelayarannya menuju pulau binongko.

Kembali menyambangi pulau ini, tomia dengan segala keindahannya. pasir yang begitu memutih, lautnya yang membiru dan segala keagungan kearifan lokalnya. Disinilah saya ditempa menjadi petualang dengan bermain bersama ombak tentu saja bersama anak pesisir lainnya. itulah mainan masa kecil kami. Tomia adalah tempat saya  mengenal cinta dan membangun harapan-harapan. Ah, saya menyukai semua itu.

Akhirnya saya merayakan kemenangan di kampung sendiri, tanah terberkahi yakni Pulau Tomia. Selamat merayakan dimana pun berada, maaf lahir batin atas khilaf!

- Pulau Tomia, agustus 2013

July 28, 2013

Senja yang mendamaikan jiwa. Kenangan sebuah perjalanan.



foto : imam hermiraj

Rindu itu kembali membuncah dan menjadi-jadi tatkala secara tak sengaja saya menemukan beberapa gambar pada folder perjalanan yang tersimpan rapi dalam laptop kesayangan. Seakan-akan memori  saya ikut tertelanjangi, ada sesuatu yang terselip dalam ingatan. Gambar itu selalu berbicara akan kenangan dan simbol tentang simpul kebersamaan serta persahabatan bersama teman seperjuangan dahulu, mereka adalah orang-orang yang pernah merangkai sejarah lalu meneguk pahit nikmatnya suka duka bersama. 

Perjalanan ini  berawal ketika salah seorang teman saya melihat terabadikannya gambar-gambar pendakian yang pernah saya alami. Ia pun jatuh hati ingin merasakan suasana dan sensasi berada di alam bebas. Merasakan malam-malam dingin di gunung itu seperti apa, dia juga ingin bertemu dengan edelweiss lalu menceritakan lambang cinta abadi kepada kekasih jiwanya yang akan ia nikahi, bunga yang selalu ikhlas menebarkan wewangiannya kepada setiap orang yang menjumpainya. Tapi juga perjalanan ini adalah perayaan seorang kawan yang baru saja meraih gelar insyiurnya. Ya, itulah beberapa hal yang mendasari. Satu hal yang  bisa dipastikan kebenarannya, saya tak pernah meracuni pikiran kawan-kawan saya terlebih mengajak, Ini murni dari mereka karena jatuh hati dan mengingini.

Tepat sehari sepulang dari lima hari menjelajahi hutan belantara, menyisir sungai dan menjumpai kesederhanaan para pembuat gula merah di kaki gunung kamuru dan bossolo, kabupaten gowa. Kembali mempacking kerel lalu menemani empat teman saya mendaki gunung bawakaraeng. Berkenderakan sepeda motor melaju menuju perkampungan terakhir sebagai gerbang pendakian yakni dusun lembana. Hari itu pula langsung mendaki dan menggelar tenda di pos lima pada malam yang telah larut. Keesokan hari melanjutkan jalan hingga mencapai puncak dan lagi-lagi tiba saat malam sudah mendahului kami. 

Pagi itu bersama keempat kawan saya, mulai bergegas mempersiapkan perjalanan pulang dari pos sepuluh gunung bawakaraeng. Telah semalaman kami mendirikan camp disini. Semesta tidak begitu bersepakat kepada kami. Dari semalam angin begitu kencang disertai hujan yang turun seenaknya saja membasahi tenda. Suhu begitu dingin sekali, mengisyaratkan agar kami segera membungkus badan dengan sleeping bag lalu tidur tanpa mengharapkan apa-apa dari pertunjukan  benda-benda langit. Bulan malam itu tak menampakkan dirinya sama sekali.

Hari yang masih dingin berkabut, kami mulai packing setelah menikmati sarapan pagi. Siang itu tak ada pendaki lain selain rombangan kami sendiri. Diiringi doa memohon keselamatan, mulailah perlahan pijakan langkah meninggalkan puncak gunung bawakaraeng. Melewati pos perposnya dengan sesekali singgah beristrahat, satu hal yang mesti saya maklumi yakni kelima kawan saya adalah pemula dalam aktivitas seperti ini. Sehingga begitu bersyukurnya ketika meraih puncak dan pulang dengan selamat.

Pada pos enam, senja pun mulai menampakkan perangainya pertanda sebentar lagi ia akan memeluk malam.  Menuju pos lima matahari perlahan akan tenggelam. Suatu pemandangan alam tak ternilai harganya, diantara celah ranting-ranting pohon yang kering dan telah mati itu awan begitu tenang menggulung-gulung bak lautan yang teduh. Semacam kanvas yang terlukiskan pemandangan alam beserta langit sore tapi hal ini tak akan mampu tercipta oleh imajinasi seorang pelukis manapun. Semesta selalu bercerita tentang hal-hal hebat akan penciptaan sang penguasa langit. 

Senja itu, jingga menghiasi pos enam yang didominasi pohon dan rantingnya yang kering dan telah mati. Bias warna jingga menyinari tubuh yang keletihan sejenak menghilang, dahaga pun terpuaskan lalu mendamaikan jiwa. Saya amat menyukai warna jingga.  Pohon-pohon itu begitu indahnya dilihat. Menikmatinya tentu saja kami berhenti sejenak hingga  senja benar-benar bertemu malam. Dalam beberapa kali pendakian ke gunung ini tak pernah saya menjumpai sore seindah ini, sungguh sore yang tak biasa. Terkadang para pendaki tak melihat pemandangan apa-apa selain kabut dan hujan saja. Saya menjumpai senja sedamai ini hanya bersama kalian, kawan. Kita tidak melihat bulan di puncak tapi semesta menggantinya dengan keindahan lainnya. Tuhan Yang Maha Baik selalu berkehendak lain diluar batas dugaan manusia.

Malam telah datang lalu kami mendirikan camp di pos lima. Melewatkan malam dengan kehangatan kopi masih tentang kekaguman yang tak henti-hentinya akan pemandangan yang baru saja terlewatkan oleh mata. Senja yang tak akan pernah dijumpai diperkotaan yang semakin hari mengeluarkan bau amis menyengat. Ah, perbincangan malampun berlanjut perihal cinta, kekasih jiwa dan cita-cita yang masih ghaib serta beberapa pengharapan kelak. Atau perbincangan hal sederhana lainnya sempat dibahas kadang bernada menggelitik. Tapi penuturan saya malam itu, cita-cita adalah menyeruput secangkir kopi berlima seperti malam ini sungguh membahagiakan atau barangkali lewat kesempatan lain bersama kekasih jiwa saya. Percayalah ini cita-cita sederhana saya.

Bagi saya lewat kita bercengkrama diantara kabut itu, memaknai arti pertemanan semakin kuat dan mengakar. Yang terbentuk dari saling berbagi beban hidup dan menikmati keindahan alam. Sehingga kelak, inilah yang akan kalian rindukan tentang saya atau tepatnya kebersamaan kita yang langka ini. Berterimakasilah kita kepada semesta karena lewat perantaranyalah terlahir akan hikmah dan nilai yang sangat berharga.

Goresan pada halaman ini terilhami ketika melihat foto lama. Kenangan pendakian bersama empat kawan teknik kelautan unhas. Saya amat bahagia bisa membawa kalian pulang setelah menikmati dan merasakan malam-malam dingin digunung sana. Hormat saya kepada Imam, mail, anto dan adi, sehat-sehatlah kita dimanapun berada. Adakah menjumpai diri kalian mengenang jalan berkontur itu menuju pencapaian titik triangulasinya. Mari mengenang siapa yang nyaris hypothermia atau yang meneguk cairan spritus dengan mengiranya itu partikel kopi. Refleksi perjalanan ke Bawakaraeng 22-25 juni 2011.

 
foto : imam hermiraj, adi, mail, anto, dayat
 
foto : imam hermiraj, adi, mail, anto, dayat

foto : imam hermiraj, adi, mail, anto, dayat


*) Minggu menjelang sahur .  jam 1 tanggal 28/07/2013

TERPOPULER BULAN INI