December 22, 2011

Hubungan yang FRIKSI


Kau tahu…
Saya hampir  percaya kalau cinta kita akan abadi layak mekarnya bunga edelweis yang kutemukan di puncak gunung sana,..bawakaraeng, lompobattang atau latimojong.
Kau tahu…
Dia itu cantik sangat cantik seperti dirimu yang slalu tersenyum lebar untukku… dan saya mengamininya
Entahlah saya sendiripun lupa sudah berapa lama kita berdrama-drama seperti ini  tanpa scenario yang pasti…
Kau tau…
Cita-cita sederhana kita minum kopi bersama, berbagi suka dan duka, saling mendukung kehidupan masing-masing akan menjadi mimpi yang semu…
Friksi, hubungan kita telah mengalami friksi dan tidak bisa disambung lagi dengan simpul apapun…
Yang pasti  kemarin sore cinta kita telah dikubur, dimakamkan…
ditulis di Makassar-kampus unhas




November 16, 2011

Mendaki Gunung bersama Crew Jejak Petualang Trans7

Jejak Petualang adalah program khusus petualang yang ditayangkan di Trans7 yang mengangkat keindahan alam, seni budaya sekaligus menggali potensi nusantara serta berbagai kegiatan petualangan ekstrim lainnya. Dan saya meyakini bahwa sahabat petualang yang hobby naik gunung, diving atau  sering melakukan aktivitas di alam terbuka pasti menggemari acara ini, tidak terkecuali saya pribadi. Suatu kebanggan tersendiri  buat saya bisa mendaki bersama teman-teman dari Jejak Petualang. Hal yang selama ini tidak pernah saya cita-citakan. 

Pada November kemarin, saya dan sebelas orang teman dari SAR Unhas lainnya mendaki Gunung Bawakaraeng. Tujuannya adalah melaksanakan Siaga Insidentil pelaksanaan Ritual Shalat Idul Adha atau kami namai “Siaga Haji”. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak berdirinya Sar Unhas tahun 1986. Dikarenakan masih saja ada warga yang melasanakan shalat di atas gunung. Perlengkapan yang mereka gunakan hanya seadanya misalkan saja tenda yang dipakai adalah terpal serta tidak menggunakan sleeping bag sebagai penghangat badan pada malam hari. Kondisi cuaca di gunung bawakaraeng cukup ekstrim dan tidak bisa ditebak. Sekitar tahun 80-an pelaksanaan ritual seperti ini pernah memakan banyak korban yang meninggal, maka dari itu SAR Unhas selalu melaksanakan kegiatan siaga ini sebagai bentuk tindakan preventif.
Dalam pendakian kali ini, kami ditemani Tim dari Jejak petualang Trans7. Crew JePe berjumlah 5 orang. Tujuan mereka adalah untuk meliput pelaksanaan ritual shalat idul adha di puncak gunung bawakaraeng. Dan Lumayan banyak gambar terekam dalam kamera yang bisa diambil. Menyaksikan langsung pelaksanaan ritual shalat idul adha digunung seperti ini,saya pikir hanya ada terdapat di sulawesi selatan.
Saya pribadi cukup bangga bisa naik gunung bersama mereka apalagi artis sekaligus presenter favoritku Medina Kamil ikut dalam pendakian ini. Siapa sih yang tidak kenal dia, si wanita petualang. Momen langka tersebut tidak mungkin saya sia-siakan begitu saja. Banyak hal yang saya tanyakan serta menshare pengalaman-pengalaman petualangannya menjelajahi wilayah nusantara ataupun diluar negeri sana.
Dan hal yang tidak mungkin terlupa adalah minum kopi dan berfoto bersama dititik triangulasi atau puncak gunungnya. Luar biasa serta perjalanan yang mengasyikan bisa mendaki gunung bersama tim dari jejak petualang trans 7. Semoga masih ada kesempatan lain untuk bisa bersama lagi....
Catatan singkat perjalananku dibulan November 2011

November 14, 2011

Berpijak di 3478 MDPL, Puncak Sulawesi



 "Perjalanan ke puncak, badai, dingin yang menembus tulang dan tebing-tebing terjal semua itu hanyalah proses. Pulang dengan selamat adalah tujuan dari perjalanan ini"

12 februari 2011, Makassar masih diguyur hujan lebat. Bersama Murham (SAR Unhas), Udin (KPA Omega), Ucok dan Safar (Geologi Unhas). Pukul 13.00 WIB, start dari Terminal Daya dengan menggunakan mobil panther tujuan Enrekang dengan ongkos 60rb. Setelah menempuh beberapa jam perjalanan akhirnya kami tiba di Basecamp KPA Gempa Maspul-Erekanng dan langsung istrahat. Keesokan paginya setelah berpamitan dengan teman2 KPA Gempa perjalanan kami lanjutkan meggunakan angkutan pete2 tujuan pasar Baraka dengan 15rb/orang, selanjutnya dari Baraka menuju dusun Rantelemo menggunakan mobil Ranger dengan ongkos 20rb/orng.

Petualanganpun dimulai dari dusun Rantelemo (dusun Latimojong) karena kita harus berjalan kaki sejauh 3 km untuk sampai di dusun Karangan, kaki Gunung Latimojong. Sepanjang jalan mata kita akan dimanjakan dengan Bunga Edelweis, bunga abadi yang hanya tumbuh didaerah ketinggian sungguh pemendangan yang jarang sekali kita temukan didaerah lain. Sekitar jam 5 sore kami sampai di Karangan (1390 mdpl) dan lansung melapor ke Pak Dusun selanjutnya mencari rumah seorang warga Pak Mulle' namanya untuk kami jadikan basecamp. Malamnya banyak bercerita yang kami dapat dari Pak Mulle' seputar Gunung Latimojong. Ada hal yang menarik dari Dusun Karangan yaitu tentang musik bambunya.

Esok paginya packing dan memulai perjalanan sekitar jam7. Karena diantara kami semua tidak ada yang tau jalur makanya Pak Mulle' bersedia mengantar sampai percabangan menuju pos 1. Setelah melewati perkebunan kopi dan melewati beberapa sungai dengan tanjakan yang cukup lumayan sekitar kurang lebih 40 menit kami sampai di pos 1. Dari Pos 1 ke pos 2 jalur trek akan bervariasi yaitu mendaki dan menurun. Mendekati pos 2 rute jalannya akan menurun karena pos 2 berada disebuah lembah ditepi sungai yang mengalir besar. Pos 2 ini berupa sebuah areal dibawah tebing batu, biasa juga disebut dengan nama Goa Sarung Pakpak. Sumber air melimpah disini dan sangat cocok untuk dijadikan area camp. Pos 2 berada diketinggian 1800 mdpl. Sekitar sejam kami menyempatkan untuk memasak dan mengisi perut.

Dari pos 2 perjalanan ke pos 3 agak sulit karna harus melewati tanjakan dengan kemiringan 80 derajat. Kondisi cuaca juga mulai berubah hujan deras mengguyur kami. jalur yang licin membuat langkah perlahan mulai lambat. Waktu tempuh untuk sampai di pos 3 adalah selama 1 jam perjalanan. Dari pos 3 menjuju pos 4 agak sedikit mudah dengan melewati hutan dengan vegetasi hutan palem. Waktu tempuh dari pos 3 adalah 45 menit.
Menuju pos 5 agak sedikit mudah tapi waktunya agak lama karena trakkingnya lumayan jauh. Pos 5 berada pada elevasi 2480 mdpl merupakan sebuah daerah datar dan sangat cocok untuk dijadikan tempat camp bisa menampung paling tidak 12 tenda. Dan waktu yang kami tempuh dari pos 4 adalah sekitar 1 jam lebih. Disini terdapat sumber air berupa sebuah sungai.

Melanjutkan perjalanan menuju pos 6 sekitar 40 menit melewati hutan lumut. Karena cuaca semakin ekstrim kami putuskan untuk mendirikan tenda dan camp di pos 6. Keesokan paginya lanjut ke pos 7 kurang lebih 1 jam kami sampai. Lagi-lagi cuaca kembali berubah pos 7 mulai ditutupi kabut disertai angin kencang.

Merupakan resiko melanjutkan perjalanan dalam keadaan badai. Akhirnya diputuskan tetap lanjut ke pos 8 yang merupakan puncak tertinggi dari pegunungan Latimojong. Masih harus mencari tanda string line dan jalur dikarenakan jarak pandang penglihatan hanya sekitar lima meter. Udara dingin yang menembus tulang akibat angin kencang membuat kami beberapa kali harus terjatuh.

Kurang lebih satu jam perjalanan melawan badai kami melihat tugu sebagai tanda itulah titik triangulasi. Teriakan Allahu Akbar, luar biasa itu semua adalah ekspresi kegembiraan kami. Jacket tebal yang membalut tubuh tidak cukup untuk melawan dingin. Sekitar sepuluh menit mengabadikan diri dengan berfoto-foto kami putuskan turun ke pos 6 lokasi camp. Keesokan harinya baru turun ke basecamp dusun Karangan. Besok pagi, lanjut ke Makassar dengan membawa pengalaman yang luar biasa, sungguh jarang sekali dialami oleh orang banyak…
Transportasi menuju Karangan

Dusun Karangan

Pos 1

Triangulasi, Puncak Rantemario


November 10, 2011

Lintas Gunung Lompobattang - Bulu Baria

Desember 2010, Entahlah pendakianku ke gunung lompobattang  kali ini adalah yang keberapa kalinya. Empat lima ataukah yang  keenam kalinya saya sendiri juga sudah lupa-lupa ingat. Tapi yang pasti tujuan kami tidak hanya sampai dipuncak tetapi mencoba menembus dua gunung yaitu puncak Lompobattang-Bulu (baca : gunung) Baria hingga tembus di daerah perkampungan Majannang. Mencoba jalur baru tantangan baru Itulah alasanku mengapa saya melakukan pendakian ini.

Bersama tiga orang teman dari Unhas dan satu orang dari Palu. Setelah packing semua barang barulah kami star dari kampus Unhas menggunakan angkutan pete-pete menuju terminal Malengkeri. Dari sini kami mulai cari tumpangan gratis naik truk ganti lagi dengan truk lainnya hingga sampai pada daerah Malakaji. Menginap di rumah Tata Juma yang juga merupakan basecamp SAR Unhas. Tampak di depan rumah tertulis Base Camp SAR Unhas “persiapkan fisik, mental dan perlengkapan anda” kata-kata ini yang selalu jadi peganganku jika akan melakukan kegiatan petualangan. Tempat  ini tidak asing lagi bagiku karena tiap kali naik gunung lompobattang bersama teman dari SAR pasti bermalam disini. Kehadiran kami berlima disambut hangat oleh tata sekeluarga. Keesokan pagi, setelah berdo’a kami berpamitan pada tuan rumah untuk melanjutkan perjalanan.
    
Pos satu dan dua adalah sumber air terakhir sebelum pos Sembilan. Maka dari itu kami sempatkan waktu untuk makan siang di pos dua. Jalur pendakian ke puncak buat saya pribadi lumayan butuh fisik yang prima. Dari pos satu hingga puncak kita akan melewati  hutan-hutan lumut serta tanjakan-tanjakan terjal mulai dari 45 derajat dan bahkan ada yang 90 derajat dimana kiri kanannya jurang biasa juga disebut pintu angin. Mendirikan tenda dan camp di pos sembilan. Sore itu, matahari tenggelam indah sekali tentu saja kami berlima tidak akan melewatkan momen itu sungguh pemandangan yang jarang sekali dialami oleh orang banyak.
Triangulasi
Pagi harinya perjalanan kami lanjutkan menuju puncak. Sempat mengabadikan diri dengan berfoto bersama dititik triangulasi. Dari pos sepuluh menuju Ko’bange disini terdapat tumpukan batu-batu pada area datar dan luas. Koba’nge merupakan tempat ritual warga yang melakukan shalat pada bulan haji atau idul adha. Memang masih ada kepercayaan sebagian warga yang melakukan ritual seperti itu. Fakta dari beberapa Siaga insidentil SAR Unhas baik gunung lompobattang atau bawakaraeng saya temui masih ada warga yang melakukan ritual-ritual diatas sana.

Dari ko’bange menuju Bulu Baria. Jalur  dan medan yang kami lewati luar biasa, menuruni dan memanjat tebing terjal dan tidak jarang kami harus menggunakan tali webbing. Hari keempat kami sempat kehabisan air dan terpaksa harus ngecamp pada bidang yang miring karena tidak ada tempat yang datar. Saat itu persediaan air hanya cukup untuk dua gelas kopi untuk kami berlima. Tapi itulah nikmatnya kebersamaan, kami menikmatinya.

Hari kelima, kami sudah menapakkan kaki di triangulasi Bulu Baria. Kondisi saat itu tertutup kabut tebal dan sesekali kami melihat puncak bawakaraeng walau kemudian tertutup lagi. Perjalanan kami akhirnya sampai juga pada daerah perkampungan Majannang dengan selamat. Akhirnya kembali ke Makassar dengan membawa cerita untuk berbagi dengan orang-orang yang selalu merindukan triangulasi….!!!

Saran :
*) Jika ada teman-teman yang akan melakukan pendakian lintas Lompobattang-bulu Baria. Sebaiknya membawa tali webbing yang cukup serta bisa memaneg persediaan air dari pos Sembilan lompobattang hingga pos tiga Majannang.

*) Hanya Tulisan singkat. jika ada yang ingin mengetahui lebih jauh silahkan kirimkan pertanyaan ke email saya. Terimakasih.



Camp di Teras 9 Gn. Lompobattang


Ko'bange


Puncak Bulu Baria

- La Hida, Catatan Perjalanan diakhir Tahun 2010

November 09, 2011

Desa Leppangeng, Negeri diatas awan

Desa Leppangeng terletak di Kecamatan Pituriase, Kabupaten Sidenreng Rappang Propinsi Sulawesi Selatan. Kondisi geografis desa ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Luwu, Tana Toraja, dan Enrekang. Desa Leppangeng masih berada dikaki Pegunungan Latimojong. Sedikitnya ada 300 kepala keluarga (KK) penduduk Desa Leppangeng.
Pagi dan sore selalu diselimuti kabut
Bulan Juni 2010, kami mencoba menyelami kehidupan masyarakat desa Lepanggeng. Selama satu bulan lebih saya dan tujuh orang teman melakukan kuliah kerja nyata disana. Sehari-hari kami menjalani Hidup layaknya masyarakat disana. Kami harus membiasakan diri jauh dari kehidupan perkotaan/kehidupan pondokan. Untuk mencari signal HP kita harus berjalan kaki sejauh kurang lebih satu kilometer. Rumah Pak Desa yang kami tinggalipun tidak memiliki televisi, padahal saat itu semua masyarakat dunia sedang dalam euphoria menikmati piala dunia. Satu hal yang patut kami syukuri Desa Leppangeng sudah memiliki sumber listrik yang berasal dari Turbin dengan memanfaatkan aliran sungai.
Menurutku, desa leppangeng hampir mirip dengan Lembanna dikaki Gunung Bawakaraeng dan kampung Parambintolo dikaki Gunung Lompobattang. Setiap hari kami menikmati kabut yang keluar dari lembah-lembah gunung. Rumah yang kami tempati biasanya akan tertutupi kabut. Suhu pada malam hari lumayan dingin. Disini banyak terdapat air terjun dengan pemandangan yang sangat menarik.
Tak banyak yang bisa kami lakukan dikarenakan kondisi geografis desa leppangeng. Membangun jembatan yang menghubungkan antara dusun, memperbaiki adisminstrasi desa serta memperbaiki Turbin sebagai sumber listrik adalah diantara sekian program-program lainnya yang kami lakukan.  Hal ini cukup dirasakan manfaatnya oleh warga.
Kondisi lain dari desa ini belum bisa menikmati makna pembangunan sepenuhnya. Sarana dan prasarana jalan menuju ke desa tersebut kurang mendapat perhatian pemerintah setempat. Untuk mengakses ke beberapa dusun di desa itu, warga harus menempuh perjalanan kaki berjam-jam. Kalaupun ada motor sewaan (ojek), warga harus mengeluarkan isi dompet puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Itu belum termasuk sewa barang yang mereka bawa. Misalnya saja, warga yang hendak menjual cengkeh atau membeli beras dari kota, warga harus mengeluarkan biaya Rp1.000 per liter.
Kondisi kehidupan masyarakat setempat masih miskin. Hal itu berbanding terbalik dengan potensi sumber daya alam di daerah tersebut. Betapa tidak, daerah itu kaya akan pertanian cengkih, kakao, kopi, gula merah, rotan, dan damar. Warga berharap, pemerintah Sidrap lebih memberikan perhatian untuk membangun jalan di desa itu. Ini dimaksudkan guna melancarkan aktivitas perekonomian warga.
Desa Leppangeng Kab. Sidrap
”Kuingin kembali lagi, mungkin suatu hari nanti untuk bersilaturahim ke sana. Menikmati kabut pagi sambil menyeduh kopi hangat di beranda rumah rumah pak desa”



TERPOPULER BULAN INI