July 28, 2013

Senja yang mendamaikan jiwa. Kenangan sebuah perjalanan.



foto : imam hermiraj

Rindu itu kembali membuncah dan menjadi-jadi tatkala secara tak sengaja saya menemukan beberapa gambar pada folder perjalanan yang tersimpan rapi dalam laptop kesayangan. Seakan-akan memori  saya ikut tertelanjangi, ada sesuatu yang terselip dalam ingatan. Gambar itu selalu berbicara akan kenangan dan simbol tentang simpul kebersamaan serta persahabatan bersama teman seperjuangan dahulu, mereka adalah orang-orang yang pernah merangkai sejarah lalu meneguk pahit nikmatnya suka duka bersama. 

Perjalanan ini  berawal ketika salah seorang teman saya melihat terabadikannya gambar-gambar pendakian yang pernah saya alami. Ia pun jatuh hati ingin merasakan suasana dan sensasi berada di alam bebas. Merasakan malam-malam dingin di gunung itu seperti apa, dia juga ingin bertemu dengan edelweiss lalu menceritakan lambang cinta abadi kepada kekasih jiwanya yang akan ia nikahi, bunga yang selalu ikhlas menebarkan wewangiannya kepada setiap orang yang menjumpainya. Tapi juga perjalanan ini adalah perayaan seorang kawan yang baru saja meraih gelar insyiurnya. Ya, itulah beberapa hal yang mendasari. Satu hal yang  bisa dipastikan kebenarannya, saya tak pernah meracuni pikiran kawan-kawan saya terlebih mengajak, Ini murni dari mereka karena jatuh hati dan mengingini.

Tepat sehari sepulang dari lima hari menjelajahi hutan belantara, menyisir sungai dan menjumpai kesederhanaan para pembuat gula merah di kaki gunung kamuru dan bossolo, kabupaten gowa. Kembali mempacking kerel lalu menemani empat teman saya mendaki gunung bawakaraeng. Berkenderakan sepeda motor melaju menuju perkampungan terakhir sebagai gerbang pendakian yakni dusun lembana. Hari itu pula langsung mendaki dan menggelar tenda di pos lima pada malam yang telah larut. Keesokan hari melanjutkan jalan hingga mencapai puncak dan lagi-lagi tiba saat malam sudah mendahului kami. 

Pagi itu bersama keempat kawan saya, mulai bergegas mempersiapkan perjalanan pulang dari pos sepuluh gunung bawakaraeng. Telah semalaman kami mendirikan camp disini. Semesta tidak begitu bersepakat kepada kami. Dari semalam angin begitu kencang disertai hujan yang turun seenaknya saja membasahi tenda. Suhu begitu dingin sekali, mengisyaratkan agar kami segera membungkus badan dengan sleeping bag lalu tidur tanpa mengharapkan apa-apa dari pertunjukan  benda-benda langit. Bulan malam itu tak menampakkan dirinya sama sekali.

Hari yang masih dingin berkabut, kami mulai packing setelah menikmati sarapan pagi. Siang itu tak ada pendaki lain selain rombangan kami sendiri. Diiringi doa memohon keselamatan, mulailah perlahan pijakan langkah meninggalkan puncak gunung bawakaraeng. Melewati pos perposnya dengan sesekali singgah beristrahat, satu hal yang mesti saya maklumi yakni kelima kawan saya adalah pemula dalam aktivitas seperti ini. Sehingga begitu bersyukurnya ketika meraih puncak dan pulang dengan selamat.

Pada pos enam, senja pun mulai menampakkan perangainya pertanda sebentar lagi ia akan memeluk malam.  Menuju pos lima matahari perlahan akan tenggelam. Suatu pemandangan alam tak ternilai harganya, diantara celah ranting-ranting pohon yang kering dan telah mati itu awan begitu tenang menggulung-gulung bak lautan yang teduh. Semacam kanvas yang terlukiskan pemandangan alam beserta langit sore tapi hal ini tak akan mampu tercipta oleh imajinasi seorang pelukis manapun. Semesta selalu bercerita tentang hal-hal hebat akan penciptaan sang penguasa langit. 

Senja itu, jingga menghiasi pos enam yang didominasi pohon dan rantingnya yang kering dan telah mati. Bias warna jingga menyinari tubuh yang keletihan sejenak menghilang, dahaga pun terpuaskan lalu mendamaikan jiwa. Saya amat menyukai warna jingga.  Pohon-pohon itu begitu indahnya dilihat. Menikmatinya tentu saja kami berhenti sejenak hingga  senja benar-benar bertemu malam. Dalam beberapa kali pendakian ke gunung ini tak pernah saya menjumpai sore seindah ini, sungguh sore yang tak biasa. Terkadang para pendaki tak melihat pemandangan apa-apa selain kabut dan hujan saja. Saya menjumpai senja sedamai ini hanya bersama kalian, kawan. Kita tidak melihat bulan di puncak tapi semesta menggantinya dengan keindahan lainnya. Tuhan Yang Maha Baik selalu berkehendak lain diluar batas dugaan manusia.

Malam telah datang lalu kami mendirikan camp di pos lima. Melewatkan malam dengan kehangatan kopi masih tentang kekaguman yang tak henti-hentinya akan pemandangan yang baru saja terlewatkan oleh mata. Senja yang tak akan pernah dijumpai diperkotaan yang semakin hari mengeluarkan bau amis menyengat. Ah, perbincangan malampun berlanjut perihal cinta, kekasih jiwa dan cita-cita yang masih ghaib serta beberapa pengharapan kelak. Atau perbincangan hal sederhana lainnya sempat dibahas kadang bernada menggelitik. Tapi penuturan saya malam itu, cita-cita adalah menyeruput secangkir kopi berlima seperti malam ini sungguh membahagiakan atau barangkali lewat kesempatan lain bersama kekasih jiwa saya. Percayalah ini cita-cita sederhana saya.

Bagi saya lewat kita bercengkrama diantara kabut itu, memaknai arti pertemanan semakin kuat dan mengakar. Yang terbentuk dari saling berbagi beban hidup dan menikmati keindahan alam. Sehingga kelak, inilah yang akan kalian rindukan tentang saya atau tepatnya kebersamaan kita yang langka ini. Berterimakasilah kita kepada semesta karena lewat perantaranyalah terlahir akan hikmah dan nilai yang sangat berharga.

Goresan pada halaman ini terilhami ketika melihat foto lama. Kenangan pendakian bersama empat kawan teknik kelautan unhas. Saya amat bahagia bisa membawa kalian pulang setelah menikmati dan merasakan malam-malam dingin digunung sana. Hormat saya kepada Imam, mail, anto dan adi, sehat-sehatlah kita dimanapun berada. Adakah menjumpai diri kalian mengenang jalan berkontur itu menuju pencapaian titik triangulasinya. Mari mengenang siapa yang nyaris hypothermia atau yang meneguk cairan spritus dengan mengiranya itu partikel kopi. Refleksi perjalanan ke Bawakaraeng 22-25 juni 2011.

 
foto : imam hermiraj, adi, mail, anto, dayat
 
foto : imam hermiraj, adi, mail, anto, dayat

foto : imam hermiraj, adi, mail, anto, dayat


*) Minggu menjelang sahur .  jam 1 tanggal 28/07/2013

July 17, 2013

Lihatlah itu! Mereka yang mengunjungi Rumah Tuhan

Sekarang ramadhan suci, semua orang dibelahan bumi sedang giatnya meniupkan untaian doa  ke langit dengan pengharapan dilipat gandakan ganjaran aktivitas amalannya. Tua, muda, anak-anak, tuan penguasa, si kaya dan si miskin melebur sama tanpa strata meramaikan rumah Tuhan untuk menghamba kepada sang pencipta semesta alam. Inilah momentum yang baik  dalam berlomba-lomba meraup kebaikannya. Waktu seperti ini tak seperti bulan lainnya, sekarang amatlah istimewa.

Kala malam-malam datang, pada mimbar dihadapan mereka yang bersurban dan berhijab itu tampil seseorang untuk memberikan nasehat nuansa agamis akan pesan langit dari isi kitab suci sebagai firman Tuhan juga menyampaikan perkataan seorang suci yakni nabi akhir zaman yang penuh keteladanan. Ini akan berlangsung hingga bulan penuh kebaikan ini beranjak pergi.

Anak-anak kecil begitu riangnya mengikuti setiap malam tarwih. Sehingga kadang ada canda diantara mereka atau juga seringnya tercipta gaduh yang memenuhi shaf paling belakang. sementara yang lainnya tengah  khidmat dalam bersujud kepada penguasa langit. Ya! biarkanlah seperti itu mereka berbahagia dan jangan melarang anak-anak tak mengunjungi rumah Tuhan lagi. Setidaknya mereka ingin pula seperti para haji dibarisan shaf paling depan saat melaksanakan wajib dan sunnah. Bukankah ini waktunya berburu amalan kebaikan. Sekali lagi biarlah anak-anak tadi turut meramaikan sebagai suatu pembelajaran dini, mereka lugu tapi niat tulus dan murni ibadah.

Rumah Tuhan juga dikunjungi oleh siapa saja yang memiliki kecintaan kepada-Nya. Termasuk tuan politisi yang senyumnya selalu lebih manis menghias pada pajangan poster dipekarangan rumah Tuhan atau sudut lorong-lorong. Senyum juga adalah ibadah barangkali harus ditebarkan dimana-mana agar menuai berkah. Tuan politisi juga turut pula menyampaikan pesan-pesan agama walaupun diselipkan bahasa bernada politis didalam rangkaian katanya. Ah, kalian hanya bersosialisasi  untuk suatu popularitas kepentingan.

Ia menjanjikan sumbangan kedalam kotak amal pada rumah Tuhan tadi. Dengan intonasi yang nyaring tuan politisi mengatakan itu di atas mimbar, tempat dimana biasa disiarkan ajaran suci akan cinta, kasih dan segala perihal kebaikan dikabarkan. Ia mengatakan itu dihadapan Tuhan ditengah-tengah majelis tapi ia tak berani berbicara dan menjanjikan angka aritmetika berapa digit. Jika benar itu tulus tak perlu mengatakannya secara lantang cukuplah hanya dengan diam memasukannya ke kotak amalan.

Inilah bulan ramadhan, sekarang juga adalah waktu menjelang membuai janji manis untuk suatu kontes politik. Saat ini semua orang gemar berlomba-lomba untuk memperoleh ganjaran dan hasil dari apa yang dilakukannya.
Tak ada yang perlu dilarang-melarang, anak-anak dan tuan politisi semua berhak wajib  mengunjungi rumah Tuhan. Entah siapa yang paling tulus, pura-pura, ria, dan paling murni niatnya? Akan tetapi inilah saat tepat  berburu amalan, bukan!


- Ramadhan ke-7

July 12, 2013

Selamat kalian memperoleh angka keramat

Selamat kepada anggota biasa sar unhas yang baru saja berhak menyandang gelar R dengan angka keramat. Selamat datang dan  menjadi keluarga besar Sar unhas. Teruslah berbuat tanpa pamrih untuk alam dan sesama karena kelak, kita tidak akan melewati jalan ini lagi dan pada akhirnya Tuhanlah yang akan membalas setiap langkah kita. Rescue fight dan tetaplah 5-5!

         - R405

July 05, 2013

Tuhan Pencipta Semesta, Petualangan dan Kematian

Dok. Pribadi

Dunia petualangan selalu saja menarik untuk diperbincangkan dari berbagai sisi bahkan tak akan pernah ada habisnya. Mulai dari semakin banyaknya produk yang menawarkan properti standar akan digunakan selama perjalanan. Kitapun bisa melihatnya dari menjamurnya toko-toko outdoor yang menghias disepanjang jalan. Atau barangkali lewat film-film yang mengispirasi sebagian khalayak. Mereka lalu terbius akan pemandangan alam yang begitu memesona siapa saja sehingga menumbuhkan hasrat dan minat orang-orang untuk berpetualang salah satunya seperti mendaki gunung.

Semesta selalu menyuguhkan panorama yang memukau. Bentang alam yang begitu indah, hamparan awan bak lautan ombak, melihat matahari terbenam dari puncak gunung atau bulan yang perlahan muncul di antara celah-celah tebing, suara gemercik air di tengah belantara, pelangi bawah laut ataukah hamparan pasir yang begitu memutih adalah hadiah dari aktifitas semacam ini selalu ada kedamaikan jiwa ketika bercengkrama dengan alam. Ya, ini merupakan keberkahan dari Tuhan Pencipta Semesta, kita harus mensyukurinya.

Semakin ramainya gunung didaki pada setiap akhir pekannya menandakan semakin gemarnya orang-orang menyukai dunia petualangan ini, entah apakah impack dari apa yang saya sebutkan di atas tadi. Tak perlu lagi berbackground sebagai komunitas pecinta alam, mahasiswa pecinta alam, kini semua orang siapa saja bisa melakukannya. Saya rasa, selama kita bisa menjaga kebersihan gunung dengan membawa kembali sampah turun ke bawah, menghormati adat istiadat suatu daerah, itu akan lebih baik. Atau segala hal yang perlu kita perhatikan selama melakukan perjalanan.

Minggu lalu, saya mendaki gunung bawakaraeng di sulawesi selatan, gunung ini menjadi favorit para penikmat ketinggian. Saat itu puluhan orang dari beberapa kelompok melakukan pendakian kesana. Barangkali kondisi yang sama akan terjadi pada daerah lainnya di Indonesia ini yang kaya akan gunung-gunungnya itu. Beberapa hari yang lalu juga ada beberapa pendaki sempat dinyatakan hilang di gunung itu. Kebetulan saja saya turut pula tergabung dalam tim pencari bersama beberapa tim lainnya yang turun kelapangan.

Tuhan Maha Baik, beberapa pendaki tadi masih dalam keadaan selamat dan pulang membawa kisah-kisah penuh hikmah. Saya sempat ngopi bersama dan mendengar penuturan mereka yang telah berapa hari mengalami kondisi survive. Mereka melalui jalur berkontur terjal dan sangat curam sehingga kerel yang dikenakannya harus dilepas/dibuang. Satu dari mereka mengalami luka akibat terjatuh. Sekali lagi semesta masih berpihak kepada mereka.

Dok. Sar Unhas
Salah satu kondisi terburuk dalam kegiatan mendaki adalah survive jika tak mampu bertahan, kematian selalu menghantui dari aktifitas yang menantang ini. Barangkali kematian setimpal dengan hadiah dari kegiatan ini. Sudah banyak contoh akan kejadian di gunung yang getir dan memilukan atau terkadang ada cerita yang tak bisa diterima oleh nalar kita. Kehendak semesta kadang-kadang tidak kita pahami, berpihak atau sebaliknya.

Apakah tentang arogansi dalam diri pribadi atau obsesi. Tetapi dunia petualangan sedang gemar-gemarnya digandrungi orang banyak, tentu saja ini hal yang positif. Mencintai Indonesia bisa dilakukan dengan naik gunung lalu lebih mendekatkan kita pada Sang Pencipta Semesta. Kita harus menyadari hal itu ketika berada dipuncak-puncak keagungan-Nya.

Siapapun kita, sehebat apapun dengan pengalaman yang telah kita alami tetap saja kuasa dan kehendak Tuhan Pencipta Alam tidak bisa kita lampaui. Mari lebih siap dan waspada dalam melakukan kegiatan petualang terlebih untuk aktifitas naik gunung. Perencanaan yang matang tentang sebuah perjalanan akan sangat membantu dan memudahkan nantinya. Ayo kita naik gunung dan mengabarkannya. Semoga Semesta selalu berpihak kepada kita semua.

Tulisan ini lahir setelah terinspirasi dari pelaksanaan operasi sar di gunung bawakaraeng beberapa hari yang lalu.

"Mendaki gunung tidak akan mempercepat kematian begitu juga dengan tidur nyeyak di kasur empuk rumah".  Lupa baca dimana.

- Makassar, 06/07/2013

Baca juga tulisan yang sama :


TERPOPULER BULAN INI