January 28, 2015

Huma : Basecamp Nelayan Tomia Di Tengah Lautan Wakatobi

Huma/dok. www.worldwildlife.org

HUMA merupakan satu hal yang menarik dan khas dari negeri kepulauan tukang besi, Wakatobi. Saya selalu kagum dengan para nelayan saat  menghabiskan hari-harinya di atas huma yang berada pada tengah lautan sana. Mereka penjelajah lautan yang tangguh. Merekalah pelaut-pelaut yang bersahabat erat dengan alam dan mampu berdamai dengan lautan. Dan kemampuan survive-nya menarik untuk dimaknai dan dipelajari. Saya juga cemburu tatkala mereka menikmati nyanyian riak-riak gelombang dalam belaian mesranya angin laut lalu menghabiskan malam-malam di tengah lautan sambil menikmati parade benda-benda langit dari atas huma miliknya, bagi saya itu adalah satu cara langka dalam menikmati dan mencumbui alam. 

***
Saat berlayar dari Pulau Tomia, Wakatobi menuju Baubau (Pulau Buton) atau melawan arah sebaliknya (back azimuth), maka mata kita akan terpana dengan suatu pemandangan unik yakni berjejernya HUMA para nelayan atau bangunan yang berdiri di tengah laut. Yah serupa offshore - rig pengeboran minyak di perairan kalimantan. Huma dalam bahasa setempat (bahasa daerah Tomia) berarti rumah/bangunan permanen di atas laut yang banyak dibangun oleh para nelayan di Karang (Pasi) yang terletak diantara Pulau Tomia – Kaledupa. Dimana huma berfungsi sebagai tempat berlindung sementara dari segala aktifitas melaut. Karang pasi memanjang dari wilayah laut pulau wanci hingga pulau tomia. Mengingat kondisi topografinya berupa karang maka kapal-kapal tradisional yang akan melalui daerah ini harus berhati-hati sebab akan berhadapan dengan arus laut yang kuat, angin dan ombak tinggi serta jika seorang nahkoda tak berpengalaman dalam hal navigasi maka bisa berakibat kapal miliknya akan menabrak bongkahan-bongkahan karang tersebut.

Nah, mengingat kondisi lingkungannya berada di lautan maka dari itu konstruksinya harus dibangun kokoh terhadap gaya atau beban hidup yang akan diterimanya seperti faktor arah angin, pasang surut, gelombang ataupun arus laut. Termasuk juga beban mati dari huma itu sendiri. Material yang biasa digunakan adalah dari kayu-kayu pilihan yang cukup kuat dan tahan lama lalu dipancangkan di dasar laut sebagai pondasi. Proses selanjutnya akan dimodifikasi dengan memasanginya atap. Jika diperhatikan secara seksama menyerupai rumah panggung sederhana, lebih tepatnya.
                 
Huma menjadi basecamp bagi para nelayan selama menghabiskan waktunya hingga berminggu-minggu lamanya di tengah lautan. Segala hasil tangkapan dari melaut dengan cara memancing, menjala, menyulu dan cara penangkapan tradisional lainnya akan di olah dan di simpan di atas bangunan huma ini. Salah satu contohnya adalah ikan-ikan yang telah di tangkap akan di awetkan dengan cara di keringkan menjadi ikan kering/asin. Itulah cara yang paling efektif dan konvensional sebab di atas huma tak ada wadah pengawet semisal mesin pendingin jadi mau tidak mau harus segera menjemurnya dengan umumnya mengandalkan sinar matahari.  


Dikampung tepatnya di pulau tomia, saya mengenal dan bertetangga dengan nelayan-nelayan penjelajah lautan nan tangguh yang memiliki huma di karang pasi. Ia bersama istrinya biasanya menghabiskan waktu di huma miliknya hingga dua mingguan atau lebih untuk menangkap berbagai jenis ikan dan kerang laut yang bernilai ekonomis baginya. Transportasi atau perahu yang biasa digunakannya adalah jenis perahu bodi batang (sebutan perahu yang biasa juga digunakan para nelayan bajo wakatobi). Dia akan kembali ke daratan setelah bahan makanannya telah menipis atau habis dimana hal tersebut merupakan bekal selama tinggal di atas huma. Bahan pokok tersebut biasanya berupa beras, kaopi dari singkong yang akan di olah menjadi kasoami sebagai makanan pokok orang tomia. Tentu juga air amat penting untuk keperluan di atas lautan serta bahan-bahan lainnya.

Nampak sebaran karang wakatobi/Dok. Google


Semesta menganugerahi kepulauan Wakatobi dengan kelimpahan hasil laut yang amat banyak. Puji syukur atas hal ini tentunya. Keberagaman jenis ikan disebabkan posisi wakatobi sebagai segitiga karang dunia. Maka tak mengherankan jika lautan wakatobi menjadi rumah atau surga bagi bermacam-macam segala ikan. Bahkan kekayaan perikanan di karang pasi wakatobi tercium juga oleh para pelaut dari Selatan. Saya masih ingat, pada tahun 2000-an sangat banyak Bagang yang berdatangan memenuhi pesisir pantai Pulau Tomia. Bagang adalah jenis kapal tangkap tradisional suku bugis. Puluhan Bagang asal sinjai tersebut datang mengeruk hasil-hasil laut karang pasi wakatobi. Tetapi dampak masuknya pelaut bugis tersebut telah menyebabkan terjadinya akulturasi budaya manakala beberapa diatara mereka telah menikah dengan warga Tomia bahkan memilih hidup menetap di pulau yang juga dikenal dengan nama kepulauan tukang besi ini.
                                                                                                

***

HUMA merupakan rumah tradisional bagi nelayan Tomia di atas birunya lautan wakatobi. Tentunya ini juga menjadi sesuatu hal yang khas nan langka dalam melihat satu sisi kehidupan pelaut maritim nusantara. Keberadaannya tak terlepas dari bagaimana mereka mengakrabi alam serta bersahabat erat dengan lautan. Saya bisa membayangkan dan memaknai cara mereka ber-survive terhadapan ganasnya ombak-ombak di palung terdasar samudera sana.  Saya meyakini bahwa Anak pulau adalah mereka-mereka yang mampu berdamai dengan lautan. Pelaut-pelaut Tomia, Wakatobi juga adalah satu suku pelaut di nusantara yang berani dan gigih membelah lautan lalu menyusurinya. Yah, saya memercayai hal itu, entah bagaimana dengan anda?



- Catatan perdana di awal tahun 2015

2 comments:

  1. Yang penting jangan terlalu mengkomersilkan alam,,karena alam untuk dinikmati oleh siapapun..
    LAKSANAKAN PASAL 33 UUD 1945..

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya.. alam untuk dinikmati dan dijaga agar tetap lestari, itu kewajiban pejalan. lantas siapa yg mengkomersilkan alam...

      Delete

TERPOPULER BULAN INI