February 11, 2014

Desa-desa di Kaki Gunung. Menikmati Berkah dan Masalah-masalahnya

Ilistrasi : Dusun Karangan Kaki Gunung Latimojong (dok. pribadi)


Transportasi & jalanan menuju kaki Gunung Latimojong
Desa-desa di kaki gunung dikaruniai tanah yang begitu subur. Hasil-hasil pertaniah melimpah ruah tumbuh dari lereng gunungnya. Sayur mayur dan segala jenis buah-buahan segar akan dipasok ke daerah perkotaan untuk pemenuhan kebutuhan hidup empat sehat lima sempurna bagi masyarakatnya. Desa di kaki gunung seolah tak mengenal musim karena selalu menyediakan hasil alam seperti di atas. Sungguh gunung dan lerengnya menyimpan berjuta kekayaan bagi penghidupan manusia. Termasuk air bersih yang begitu penting untuk kebutuhan keseharian makhluk hidup.

Kawasan pegunungan juga merupakan tempat favorit wisata bagi masyarakat kota dalam melepaskan kepenatan rutinitas keseharian mereka. Alamnya yang asri dan hijau serta hawa sejuk pegunungan adalah pemandangan langka dan bernilai mahal bagi orang kota.  Tak  mengherankan jika pada setiap akhir pekan daerah yang menawarkan panorama pegunungan akan selalu ramai pengunjung.   

Masyarakat disekitar kaki gunung menjadikan pertanian sebagai mata pencarian utama mereka. Atau meraup penghasilan dengan memanfaatkan panorama keindahan sebagai peluang yang menguntungkan misalkan menjadi guide/pemandu untuk naik gunung, ataukah menyewakan pondokan atau kuda-kuda mereka untuk para pengunjung yang ingin melihat pemandangan khas daerah pegunungan tersebut. Hal ini bisa dilihat saat mengunjungi gunung bromo pengujung bisa menyewa jeep atau menaiki kuda.

Terkadang hasil alam yang begitu berlimpah tak sebanding dengan akses jalan yang baik atau penerangan listrik yang belum tersentuh serta fasilitas pendidikan yang tak memadai. Begitu pula dengan tak tersedianya fasilitas kesehatan. Kondisi yang membuat cemburu ketika melihat wajah kota dengan segala fasilitas serba ada bagi masyarakat kotanya, sungguh jauh berbeda dengan daerah di kaki gunung sana.

Ketika menyambagi Dusun Karangan di kaki gunung Latimojong saya mendapati jalanannya yang rusak bercampur lumpur serta terkadang harus melewati sungai hingga membuat perjalanan terasa berat. Wajar saja kendaraan yang membawa kamipun beberapa kali harus menurunkan penumpangnya lalu mendorong mobil yang membawa kami tersebut. Akses jalan yang masih belum memadai tersebut membuat Karangan hanya bisa dua kali dalam seminggu dilalui kendaraan yakni hanya pada hari pasar saja saat warga membawa  dan akan menjual hasil pertaniaan mereka ke pasar.

Kondisi yang sama saat mengunjungi Parambintolo kaki gunung Lompobattang, Gowa Sulawesi selatan. Daerah ini sangat kaya akan hasil alamnya seperti berbagai macam sayuran serta biji kopi pilihan. Namun tak menyeluruh tersentuh jalan yang bagus. Dusun Parambintolo sebagai kampung  terakhir belumlah menikmati jalan yang beraspal. Ketika hendak mendaki gunung lompobattang kita harus berjalan kaki dengan mendaki beberapa kilometer jauhnya dengan melalui jalan pengerasan. Sedikit lebih beruntung dialami oleh Dusun Lembana, kaki Gunung Bawakaraeng karena berapa tahun terakhir ini sudah mengalami pengaspalan hingga memudahkan warganya untuk memasarkan hasil-hasil pertaniaan mereka begitu pula dengan para pendaki gunung bisa langsung memarkir kendaraan mereka di rumah-rumah warga sebagai lokasi basecampnya. Pertanyaannya, bagaimana dengan kondisi daerah di kaki gunung belahan indonesia lainnya??

Ilustrasi : Sinabung  (foto Tribunnews)

Barangkali Itulah sekilas cerita dari desa di kaki gunung tak berapi di wilayah sulawesi selatan yang tidak memerlukan kekhawatiran lebih dibanding dengan daerah pada gunung berapi misalnya saja gunung merapi atau sinabung. Sejarah juga pernah mencatat letusan  terkuat terjadi ketika gunung tambora di sumbawa meletus pada 12 april 1815 hingga mengguncangkan dunia. Lava panas, hujan bebatuan  dan gas mematikan keluar dari perut tambora hingga menewaskan puluhan ribu orang.  Akibat lain yang dihasilkan dari meletusnya gunung ini yaitu mengubah siang hari menjadi gelap gulita, gagal panen di china dan eropa sehingga kelaparan terjadi di inggris. 

Yang terbaru dan masih segar dalam ingatan kita yakni erupsi Gunung Sinabung di Tana Karo telah memakan korban tujuh belas orang meninggal dunia hasil dari muntahan awan panasnya. Serta puluhan ribu warga di lereng gunungnya terpaksa harus mengungsi hingga berbulan-bulan lamanya. Mereka harus meninggalkan kehidupan mereka sebelumnya seperti kebun dan hasil pertanian sebagai nadi bagi kelangsungan kehidupan warga atau sebagai mata penghasilan. Anak-anak desa harus meninggalkan sekolah mereka lalu tertinggal dari mata pelajaran. Sungguh kondisi yang tak penah di inginkan oleh siapapun juga. Hari ini membiasakan kehidupan di tenda-tenda pengungisan adalah bentuk latihan kesabaran ditengah kepenatan dan rasa menjemukan yang menaungi wajah mereka. 

Namun selalu ada hikmah dan pelajaran dari segala peristiwa getir serta memilukan itu. Dibalik semua peristiwa alam bahwa ada nilai  pelajaran kesabaran dan ketabahanlah yang akan menguatkan. Alam selalu menyisakan misteri untuk dipecahkan maknanya. Bencana datang tak ada seorangpun dapat memprediksinya.  Saat terjadi banjir bandang di Manado, longsor ataukah erupsi gunung berapi, banjir akut sebagai pemandangan biasa di Jakarta adalah bentuk alam menyeimbangkan dirinya. Bahwa di bagian lain telah terjadi ketidakseimbangan sistem. Ya! kadang alam menyeimbangkan dirinya dengan kehancuran dimana-mana. Dan barangkali dengan segala bencana alam itu manusia akan merenung dengan apa yang telah diperbuantnya kepada alam sekitarnya. Akhir tulisan  saya ingin bertutur : ikut berduka atas segala bencana yang menimpa ibu pertiwi akhir-akhir ini. Avignam!!!

Makassar, 11 februari 2013
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

TERPOPULER BULAN INI