June 03, 2016

Saat Bahasa Daerah Terpinggirkan

Ilustrasi/google
Suatu waktu di kampus paling terkenal di Makassar, secara tak sengaja saya berjumpa dengan seorang teman yang menimba ilmu pada universitas tersebut. Lalu saya menyapanya dengan logat dan bahasa daerah yang khas anak pulau tentunya. Benar, dia membalas sapaan itu. Sayangnya bukan dalam bahasa daerah seperti apa yang saya harapkan. Beberapa kali saya ajukan percakapan sebanyak itu pula ia hanya menjawabnya dengan bahasa nasional. 


Saya melihat teman tadi merasa canggung atau merasa tak percaya diri menggunakan bahasa kampungnya sendiri ketika berada ditengah atau disekitar teman-temannya (asal daerah lain) waktu itu. Entah! Namun tak hanya itu, kejadian serupa berapa kali saya temui dengan orang yang berbeda dalam artian teman sedaerah. Pada situasi yang tak formal tentunya ketika itu, selalu saja pertanyaan saya ditepis lalu mengarahkan pembicaraan untuk berbahasa indonesia. 

Setelah pertemuan-pertemuan yang tak direncanakan tersebut, saya merenungi banyak hal. Apakah tidak tepat saling menyapa dalam bahasa daerah sendiri. Apakah tidak etis jika berbincang dilakukan disekeliling teman yang tak sekampung menggunakan bahasa identitas suatu daerah. Toh, itu saya lakukan pada ruang-ruang yang tak formal dan dalam suasana santai. Ah, barangkali terkesan berlebihan jika merasa minder atau menganggap kurang gaul dengan berbahasa daerah. Bukankah itu lokalitas serta budaya kita sendiri. 

Adakalanya dalam hati kecil saya ingin marah atas kejadian demikian. Terkadang ada juga perasaan cemburu dengan beberapa teman saya asal Toraja yang saling menyapa dengan bahasa daerah mereka. Begitupun dengan teman yang dari bugis dan makassar yang begitu percaya diri akan kekayaan bahasa daerahnya masing-masing. Mestinya kita juga begitukan, teman!

Apa yang diuraikan diawal merupakan kisah nyata yang penulis alami terhadap tak percayadirinya seseorang menggunakan bahasa kampung ketika tengah berada di lingkungan perkotaan, tempat berkumpulnya orang-orang dari segala daerah. Saya masih ingat saat di makassar,  ada beberapa teman asal sulawesi selatan yang tertarik dan ingin belajar bahasa daerah saya. Yah, saya mengajarinya beberapa kata walaupun mengucapkannya mereka terdengar aneh. Sungguh itu hal yang menyenangkan bagi saya sebab bisa mengenalkan satu dari kemajemukan bahasa yang dimiliki ibu pertiwi ini. 

***
Lain lagi, apa yang terjadi dengan bahasa daerah ditanah lahirnya sendiri. Belakangan ini, saya mengamati ada fenomena baru tentang terpinggirkannya budaya berbahasa daerah. Disadari atau tidak oleh orang lain, namun dalam kacamata saya pribadi bahasa daerah telah tergusur oleh bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Anak yang baru lahir pun sudah diperkenalkan dengan segala nyanyian berbau bahasa Indonesia dimana terlihat jelas orangtuanya adalah warga asli. Maka jangan heran tentunya jika anak seumuran tk, sekolah dasar, anak smp dan anak sekolah menengah atas sudah fasih berbahasa nasional ketika berkomunikasi satu sama lain. Setidaknya itu yang saya lihat dilingkungan terdekat rumah. 

Sungguh itu realitas sekaligus ironisme. Kondisi dan pemandangan yang berbeda dengan berapa tahun lalu. Dalam benak, saya masih ingat jika saat disekolahlah tempatnya belajar berbahasa Indonesia namun ketika pulang  kembali lagi berbahasa daerah.  Pada akhirnya toh fasih dan lancar juga dengan bahasa nasional Indonesia. 

Dalam rutinitas keseharian, saya sering berbincang dengan meraka menggunakan bahasa daerah tapi seperti diduga tak banyak yang fasih dan mengerti bahasa leluhur mereka. Saya juga pernah menanyakan berapa kosakata namun sama sekali tak dipahami artinya. Tentu saja tak seluruhnya  menanggalkan kebiasaan berbahasa daerah, namun masih banyak pula yang lebih suka menggunakan bahasa ibu mereka tersebut.  Benar adanya tak ada yang salah dengan semua itu. Tak salah jika sejak usia dini sudah lancar berkomunikasi menggunakan bahasa pemersatu. Yah, itu sah-sah saja bukan! Tapi bukankah bahasa daerah itu penting juga.

Melihat semua fenomena-fenomena tersebut. Saya berpikir bagaimana dengan nasib jatidiri, budaya dan kekayaan bahasa daerah nantinya. Bukankah itu semua adalah kearifan lokal yang semestinya harus tetap dipertahankan keberadaanya. Jika tidak, bahasa daerah perlahan-akan terpinggirkan yang suatu waktu akan hilang. Atau bisa jadi banyak kosakata bahasa daerah akan punah atau hanya para orang tua dululah yang masih paham juga menggunakannya. Ah, semoga tetap lestari bahasa daerah Pulau Tomia, Wakatobi. Selamat hari lahir pancasila dan semoga selalu dalam semangat kebhinekaan*)

Lantas bagaimana dengan daerah Anda??

∼ Wakatobi, Tengah Malam 04/06/2016

2 comments:

  1. Salah satu penyebabnya bisa jadi karena sudah tidak adalagi pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah.

    Soal penggunaan bahasa daerah, saya salut dengan warga sulawesi selatan yang selalu menggunakan bahasa asli mereka ketika bertemu teman-teman sesama daerah.

    ReplyDelete

TERPOPULER BULAN INI