February 17, 2016

Kita & Gunung.


Sore itu, kami berenam mulai melngkhkan kaki meningglkn perkmpungan Dusun Madakko, stu daerah dikaki gunng Bawakaraeng. Dia merupkan tmpat primadona di wilayah sulsel khususnya. Sblumnya kmi terlbih dulu memperknlkan diri layknya seorang tamu kemudian meminta izin menyimpan kendraan roda empat yang kami tumpangi tersbt pd sebuah rumh wrga dngn pekarangannya dikelilingi perkebunan kol, savi juga tanaman daun bawang nanhijau menghampar. Cukup hangat sambutan pasangan suami-istri itu.  Suatu jamuan dan ciri khas orang-orang bukit yakni murah senyum yang tak dibuat-buat pun baik hati.


Jka tak salh mengingat, pd jam lima  keenam org beransel tersebut tinggalkan daerah itu. Madakko adalah satu jalur lain menuju puncak gunung mulut dewa (sebutan  lain bawakaraeng, lihat gugel/wikipedia). Namun barangkali tak banyak bagi mereka kalangan pecinta jalan  ke hutan yang tahu atau suka sebab tak sefamiliar jalur via Lembana (kab. Gowa), via Tasosso (kab. Sinjai) serta jalur umum lainnya.

Perlahan & santai anak-anak muda ini menapaki jalur yang terkadang sudah tertutupi pohon tumbang. Ada juga jalan-jalan yang bercabang. Sesekali saya gunakan belati untuk merapikan reranting yang menghalangi jalur. Amat landai jalur madakko ini, tak banyak kontur yang menuntut pendakian menguras stamina berlebihan. Hutan-hutan disana kami memberinya tanda dari talirafia (jika masih ada).

Oh iya! Pemandangan sore yang dihadirkan melewati rute ini amatlah indah. Dengan tenang awan bergulung-gulung serupa lautan ombak diperairan Wakatobi (kampung saya), mirip lukisan tepatnya. Sungguh Mahakarya agung penguasa alam semesta.

Menit berganti menit, jam berganti jam, senjapun berlalu. Tak terasa malam datang jua menghampiri saya serta kelima kawan tersebut. Suhu perlahan menurun dan udara mulai terasa dingin. Langkah kaki yang berjalan santai telah membawa kami sampai pada percabangan jalur pos 6 &pos 5. Sejujurnya rencana hari itu bercamp pada pos 7 (tujuan pendakian ini). Namun malam itu kami putuskan turun ke pos 5 untuk mendirikan camp. Pada tempat ini terdapat mata air maka biasanya para pundaki beristirahat sebelum melanjutkan perjalanannya.

Dari kejauhan (melihatnya dari tempat yang lebih tinggi) nampak bara api unggun menyala-nyala. Sebuah pertanda bahwa ada kelompok lain yang memilih bercamp di pos 5 tersebut. Selang berapa menit kemudian kami berenam tiba pada pos itu.

Ada begitu banya tenda pendaki memenuhi areal pos 5 waktu itu. Bergegas dua tenda kami dirikan, ough iya nyaris saja tidak ada tempat untuk kami menggelar tenda sebab saking banyaknya tenda-tenda malam itu. Saya menduga hari itu adalah akhir pekan maka biasanya orang-orang lebih memilih naik gunung, barangkali sedikit saja yang melepas kepenatan rutinitas dipusat-pusat perbelanjaan modern kota metropolitan. Entahlah.

Setelah tenda (camp) telah berdiri. Pertama hal yang dilakukan adalah memasak kopi (disela-sela menyiapkan makan malam). Kopi tak boleh terlupa jika merencanakan ke tempat dingin. Selain itu, tembakau. Keduanya merupakan teman setia pejalan seperti kami. Ia (kopi) selalu menemani cerita suka duka dalam tenda. Di gunung ia akan bersenyawa dan menyatu bersama kabut yang menerjangi tenda-tenda. Bagi diripribadi yang hanya berapa kali naik gunung ini maka menyantap kopi adalah serupa meminum suplemen penguat, tidak saja sebagai pengusir rasa dingin yang menusuk tulang. Entah bagaimana dengan anda barangkali suka teh.

Sejak dari tadi sewaktu tiba di pos 5 ini, saya merasa seakan-akan memasuki pasar yang penuh dan sesak. Ada banyak suara sana sini seperti terjadi kegaduhan. Ada juga yang bernyanyi-nyanyi sambil mengiringi alunan petikan gitar, serupa bersantai ria ala pantai. Kelompok lain berteriak lalu diikuti hampir seluruh tenda-tenda dengan teriakan yang membahana (ini yang membuat tak mengenakan malam itu). Amat ramai pos 5, mungkin saja makhuk lain penghuni tempat tersebut akan lari terbirit birit. Itu gambaran umum gegap gempitanya pos 5.

Malam makin meninggi. Saya masih saja keasyikan dengan kopi berteman tembakau. Semakin nikmat saja diseruput.sentosa! Sambil meresapi tegukan pertegukan kami melakukan breafing.membuka peta serta mengevaluasi jalur yang terlewati. Kami juga merencanakan pergerakn untuk besok pagi antara lain menyisir bekas pos 7 lama (sebelum longsor) serta menyisir pos 6, kembali ke pos 5 lalu dusun madakko.

Malam itu, seakan-akan tidur saya terasa terenggut. Suara teriakan-teriakan  dan keramaian sekitar tenda kami semakin menjadi-jadi. Itu berlangsung hingga larut malam. Ada keinginan untuk melarang mereka nmun apa daya & siapa diri ini. Mana brani saya melarang pendaki menikmati alam "hati kecil saya bergumam". Ini krna sy jarang mendaki maka tak banyak tahu perkembangan saja.
Melihat hal ini saya berpikir buknkah kita hanylah seorng tamu dgn batsannya. Bagimna jika pemilik gunung mersa mrah lalu mendtngkan bala'.Bukankah gunung  ini tlah byk berbicra hal getir nan pilu. Oh, smga tdk lgi!

2 comments:

  1. Mendaki gunung, bisa dibilang sebagai salah satu cara untuk menyatu dengan alam.

    ReplyDelete
  2. Mantap bro... Blog & penulisan keren :) lanjutkan...
    NB: sy masih punya hutang 6 gol di PES yg suatu saat hrs sy bayar... hehehe

    ReplyDelete

TERPOPULER BULAN INI