October 11, 2015

Pantai Tomia, Wakatobi. Riwayatmu Dulu dan Kini


Entah siapa lagi yang tak kenal nama kampung halaman saya itu, Wakatobi yang termashur. Barangkali tak asing lagi sebab gaungnya sudah menjangkau mancanegara dengan pesona keindahan dan eksotisme bawah lautnya. Kisah dan catatan tentang Wakatobi akan mampu menghipnotis para penikmat keindahan dan para pejalan terkhusus yang menggemari olahraga bawah air yakni menyelam. 



Selain hal itu, daerah ini juga dilimpahi oleh pasir yang memutih, adat istiadat serta kearifan lokal yang khas. Dan masih banyak lagi rahmat dan berkat yang langit berikan untuk dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Tuhan Pencipta Semesta amat baik kepada kita kepada orang-orang pulau. Puji syukur. 

Sebagai daerah wisata yang sedang berbenah dengan dalih nama pembangunan tentu saja alam harus tetap dijaga dan lestari. Ya, perihal tersebut amatlah penting agar alam senantiasa seimbang. Semoga setiap orang bersepakat dengan perkara tersebut tidak hanya saya pribadi.

***
Pada berapa tahun silam di kampung saya tersebut yakni Pulau Tomia (bagian dari gugusan kepulauan Wakatobi) garis-garis pantainya masih putih dan bisa dinikmati. Seingatku itu lebih dari sewindu lalu. Saat itu, tatkala sore hari saya dan anak-anak seumuran sering bermain dipinggiran pantainya. Entah itu bermain bola, membuat istana-istana pasir atau berenang diantara gulungan ombak musim barat. Tentu masih banyak hal dan permainan tradisional lainnya dalam mengisi hari-hari yang penuh ceria lagi menyenangkan.

Satu hal yang bisa saya pastikan bahwa pantai Tomia tepatnya wilayah One-may atau waha adalah daerah pesisir yang memiliki garis pantai indah. Bahkan sejak zaman Nippon Jepang pantai ini dilindungi dengan membangun pemecah gelombang/breakwater. 

Namun kondisinya telah berubah belakangan ini. Mendadak beton-beton dan rumah-rumah telah berjejer menghiasi pinggiran pantainya. Lagon-lagon berubah karena mengalami pendangkalan. Entahlah, setiap melakukan ritual pulang kampung, saya selalu melihat ada hal yang berubah yang bagi teman dikampung mengatakannya sebagai pembangunan. 

Bahkan yang lebih ironis adalah pasir-pasir putih dilenyapkan dengan cara ditimbun lalu dijadikan sebagai jalan raya. Sekali lagi saya amat tak paham mengapa pasir putih, alam yang harus dijaga itu harus ditiadakan. Bukankah bagi orang-orang dikota besar, pasir putih adalah serupa mutiara atau barang langka nan mahal. Untuk menikmatinya mereka harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk bisa melihatnya. Dikota besar juga pasir putih terkadang tak memilikinya bahkan tak ada.

Lantas mengapa justru di daerah pulau seperti Tomia, pantai atau pasir putih harus dihilangkan keberadaanya dengan dalih untuk proyek pembangunan. Atau mengapa harus membangun rumah-rumah beton dipinggiran pantai dengan melenyapkan butiran mutiara bernama pasir putih tadi. Apa barangkali kawasan pantai dan laut ada pribadi yang memilikinya, begitukah?

Jika memang alam dan semesta wakatobi terkhusus Tomia lebih mementingkan kepentingan pembangunan melenyapkan warisan pencipta semesta, barangkali sepuluh tahun kedepan garis-garis pantai putih yang masih tersisisa diberapa wilayah tak akan dinikmati lagi oleh anak-anak cucu kita sebagai pewaris pelaut ulung dan penakluk lautan itu. Ya, saya curiga!

***
Punahnya keindahan alam seperti pasir putih dan pantainya di Pulau Tomia (waha-onemay) harus disematkan kepada siapa penyebabnya. Diakah warga yang membangun rumah tepat diatas pasir-pasir tersebut. Atau yang memiliki kemampuan menjalankan proyek pembangunan jalan raya itu. Ah, entahlah saya tak ingin menuding siapa-siapa namun yang pasti catatan minim makna ini adalah bentuk curhatan saya sebagai anak pulau kepada penguasa langit sang pencipta semesta dan isinya yang maha indah. Oh, lindungilah alam kami.

-          Pulau Tomia, Saya ketika mengadu kepada Pencipta Semesta alam.

7 comments:

  1. ternyata masalh yang ada dikampungku tidak beda jauh dengan kampung bapak. lebih ironisnya. pasir pasir pantai banyak yang diambil buat daerah lain. lautpun mulai menunjukkan angkara murka nya.

    ReplyDelete
  2. Duh... jadi rindu sama kampung halaman

    ReplyDelete
  3. wakatobi memang indah dari dulu....tinggal pelestariannya..

    btw salam kenal

    ReplyDelete
  4. hemmm sayangnya keindahan yang Tuhan titipkan gak bisa di rawat dengan baik oleh manusianya, kasihan, saya yakin Wakatobi yang dulu pasti jauh lebih indah dari yang sekarang..

    ReplyDelete
  5. sayang banget yah kalau sampai keindahan alam makin hari makin hilang

    ReplyDelete
  6. Penyelamatan terhadap keaslian alam di sekitar kita sebaiknya sedini mungkin, kita harus sampaikan kepada anak cucu kita nanti agar kelak alam ini tetap lestari, sungguh sangat di sayangkan jika alam rusak karena kita dan itu harus segera di cegah, memang semua untuk kebutuhan manusia, tapi jika terlalu berlebih justru akan membawa bencana dan mala petaka untuk manusia itu sendiri. Terima kasih Tuhan Engkau telah pertontonkan kepada kami keunikan yang natural dan itu bagian dari keAgunganMu. makasih sobat.

    ReplyDelete

TERPOPULER BULAN INI