April 17, 2015

Mutiara Kebaikan di Tanah Mamasa

Tondok Bakaru, Mamasa (foto Ical)
SATU KEAJAIBAN yang sering saya temukan dalam setiap perjalanan adalah kebaikan-kebaikan yang hadir tak terduga. Ia datang pada ruang atau karvak dan waktu yang tak disangka oleh jiwa-jiwa yang memendam nafsu kelana. Perihal kebaikan adalah serupa oase atau embun yang selalu menyejukkan bagi setiap pejalan. Pun serupa mutiara, kebaikan adalah keindahan yang tak ternilai. Sungguh!


Selama perjalanan nan jauh untuk merengkuh tanah suci Gandang Dewata, 3037 Mdpl saya menemukan keajaiban-keajaiban tersebut. Ia tercecer sepanjang jalanan dari Makassar menuju Mamasa bahkan di tengah hutan belantara gandang dewata itu sendiri. Barangkali tak terlampau berlebihan saya mengisahkannya di sini. Saya ingin merekam hal itu lewat catatan sebab tapak-tapak kaki yang kita lewati pasti akan terhapus oleh hujan dan kabut. Namun kisah yang tertulis akan abadi lalu suatu waktu akan menjadi refleksi atas perjalanan yang pernah dilakukan.

Di Polewali saya menemukan hal itu. Setelah melewati beberapa kabupaten seorang teman telah menunggu, ia memaksa untuk mentraktir saya dan teman lannya yang akan berangkat mendaki gunung Gandang Dewata. Di sebuah cafe yang tepat berada ditengah kota, teman tadi menjamu secangkir kopi serta makan malam. "Makan memangmi sebelum melewati jalanan menuju Mamasa yang penuh gelombang" kata teman yang seorang pegawai bank tersebut. "Ini rumah saya, sudah seharusnya saya melayani teman-teman semua", ujarnya lebih lanjut.

Memasuki Kabupaten Mamasa saya menjumpai keramahan masyarakatnya. Di Tondok Bakaru tepatnya pada rumah papa Daud, kami kembali di jamu dengan kopi asli mamasa. Suasana alami persawahan dan suara aliran sungai menambah kenikmatan lain atas kebaikan papa daud. Biasanya disini terlebih dahulu pendaki-pendaki yang akan membelah hutan gandang dewata akan melakukan registrasi pada buku yang dalam setahunnya tak banyak orang yang bisa menuliskan namanya.

Setelah enam hari melewati malam-malam dingin belantara gandang dewata. Ransum atau logistik pun mulai menipis. Namun, satu berkat lagi yang dipertontonkan oleh penguasa langit. Di tengah gunung gandang dewata tersebut kami menjumpai (berpapasan) teman-teman dari mapala unasman (universitas mandar). Pada pos lima inilah teman tadi memberikan sedikit ransumnya. Ada juga tembakau dan kopi, sungguh sesuatu yang sangat penting untuk menghangatkan badan yang sepanjang hari di guyur hujan deras. Saya tak menyangka akan bertemu pendaki lain mengingat gandang dewata adalah satu gunung tersulit di sulawesi yang amat jarang dijamah orang. Bagi saya ini adalah keajaiban.

Setelah melakukan pendakian, saya dan teman lainnya bermalam di kaki gunung yaitu dusun Rantepongko. Di tempat ini saya kembali menyelami keramahan warganya yang tak dibuat-buat, senyumnya sangat tulus dan murni.  Mereka begitu akrab terhadap pendatang (pendaki) seperti kami. Rumah Papa Joni Pongko terbuka lebar menerima kami untuk bermalam. Sangat banyak cerita yang saya ketahui mengenai kisah seputar gunung gandang dewata beserta segala mitosnya. Papa Joni bercerita bahwa ia biasa mendaki gandang dewata selama tiga hari tiga malam pulang pergi beda dengan kami yang seminggu lamanya. Bahkan oleh papa joni, beberapa teman dihadiahi tanduk anoa, hewan endemik khas sulawesi.

Ada juga pak ayu dan istri yang tak bisa saya lupa sebut dalam tulisan ini. Di rumah mungil dikebun miliknya, kami dijamu dengan kopi asli mamasa serta jagung bakar yang baru saja dipanennya. Teman-teman dari kpa quarles pun tak mungkin juga terlewatkan yang telah menjemput dengan kuda besinya dari tondok bakaru ke kota. Seorang teman dari kpa gandang dewata pun tulus menawarkan untuk singgah ke sekretnya. 

Keajaiban lainnya adalah kebaikan seorang teman yang begitu ikhlasnya mencarter dua unit mobil dari mamasa sampai makassar. Tentunya bantuan yang sangat menolong sekali bagi pejalan yang seperti kami saat itu. Seorang teman tersebut adalah pegawai bank di kabupaten mamasa. ''hanya itu yang bisa saya bantu'' katanya kepada saya. Sungguh Ia serupa malaikat berwujud manusia  yang telah dikirim oleh langit ke tanah mamasa.

***
Dari perjalanan ke mamasa, membuka mata bahwa kebaikan bisa ditemukan dimana-mana. Pada daerah-daerah di kaki gunung sana masyarakatnya amat tulus menerima setiap pendatang, senyum khasnya adalah bahasa keakraban tanpa memandang agama dan suku daerahnya. Mereka rela menyapa lalu menawarkan rumah mereka bagi setiap pendatang untuk beristrahat. Mereka tak memungut imbalan apapun.

Kondisi sebaliknya serta kadang kala makna-makna kebaikan itu jarang kita jumpai pada daerah perkotaan yang katanya serba maju dan modern. Di kota hari ini rasa saling menghargai mulai tergerus, sikap angkuh dan sombong, sikap tak peduli terhadap sesama adalah hal biasa. Namun tidak dengan apa yang terjadi di desa sana dimana mutiara bernama kebaikan dan tolong menolong amat sangat kental terasa. Dan saya menemukan hal itu di mamasa. Akhir kata, terima kasih kepada mereka yang saya sebutkan diatas, semoga langit senantiasa membalas segala kebaikan tersebut.

- Catatan perjalanan menggapai tanah tertinggi sulawesi barat.


 BACA JUGA :

 
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

TERPOPULER BULAN INI