"... Menyambangi papua adalah wujud nasionalisme yang tak sebatas slogan"
Januari. Pagi itu hujan rintik-rintik membasahi bandara udara Domine Eduard Osok, Kota Sorong. Pesawat yang kami tumpangi mendarat dengan selamat setelah melewati beberapa kali guncangan hebat. Waktu tempuh Makassar - Sorong adalah dua jam wajar saja mengingat Papua merupakan pulau paling ujung timur wilayah indonesia.
Kesan pertama tentang papua muncul di benak saya sesaat setelah melihat bandaranya dan bangunan pendukungnya misal terminal kedatangan atau keberangkatan bagi penumpang yaitu sungguh jauh dari tontonan kemewahan. Bangunan itu dibuat secara terpisah, tak begitu besar bahkan menurut saya itu terlihat sangat kecil hingga kita tidak akan menemukan eskalator sama sekali. Padahal Sorong adalah pintu gerbang papua barat atau perlintasan bagi wisatawan menuju Raja Ampat sebagai spot penyelaman kelas dunia dan saya rasa semua orang punya mimpi ingin kesana. yah, Amat jauh berbeda dibanding bandara udara yang berada Makassar dengan berdiri megah serta serba modern.
Bagi pejalan seperti saya, empat hari berada di Kota Sorong sudah terbilang cukup untuk melihat lebih dekat dan mengetahui sedikit gambaran sisi kehidupan masyarakat bumi mutiara hitam itu. Mampu menginjakkan kaki saja sudah cukup membahagiakan terlebih menyempatkan mengunjungi beberapa tempat. Saya sudah melihat tembok di tepian pantai kota sorong yang selalu ramai dikunjungi kala sore atau malam harinya bagi mereka yang ingin menikmati romantisme suasana laut atau tiupan sepoi angin malam. Menurut saya tempat ini menyerupai pantai Losari di makassar atau pantai Kamali di Kota Bau-bau yang sayangnya salah satu tempat wisata di Sorong ini belumlah terlalu di tata rapi.
Kota Sorong tidaklah terlalu besar sehingga bisa dikelilingi dalam waktu kurang dari sejam dengan berkedarakan mobil. Barangkali tak seramai Kota Baubau di Pulau Buton akan tetapi menyerupai dalam hal kontur medan yang penuh bukit dimana kita bisa melihat laut dan lampu-lampu kapal pada malam harinya dari jauh.
Hal lain yang menarik perhatian ketika berada di sorong adalah bagi orang baru akan terheran-heran dengan harga barang atau kebutuhan yang serba tinggi atau mahal. Harga berkisaran dua hingga tiga kali lipat dari harga barang di Makassar. Akan tetapi ini tak begitu mengherankan lagi bagi saya mengingat sebelumnya sering mendengar cerita di kampung dari para perantau/saudagar Tomia, Wakatobi yang banyak memiliki toko-toko atau berdagang di wilayah pelosok tanah Papua. Dari mereka saya mengetahui harga-harga kebutuhan memanglah terbilang mahal mengingat barang-barang tersebut di beli atau didatangkan dari luar pulau papua seperti dari pulau jawa atau sulawesi. Tak sedikit ada berapa daerah di pelosok papua harus menggunakan pesawat untuk mendatangkan dan memasok logistik bagi kebutuhan masyarakatnya.
Jadi tak ada salahnya jika ingin melakukan perjalanan ke papua sebaiknya mempersiapkan segala sesuatunya secara matang utamanya masalah dana. Saya masih teringat ungkapan "di sini semuanya naik kecuali air ludah dan celana dalam" pungkas pak Aziz yang menemani kami selama berada di Sorong waktu itu. Dan barangkali anggapan itu tak terlampau berlebihan, bukan? jika mengingat medan geografis papua yang berupa pulau-pulau dan dikelilingi banyak gunung.
Sempat muncul kekhawatiran bagi saya dan teman-teman waktu itu yakni malaria papua yang terkenal ganas. Penuturan pak Aziz bahwa untuk pendatang baru bisa saja ia akan terkena penyakit malaria hanya dalam waktu tiga hari atau lebih dari seminggu sudah akan merasakan gejalanya. Ketakutan akan terserang malaria sempat menyelemuti perasaan. Benar adanya nyamuknya begitu ganas menggigit sehingga membuat bengkak wilayah badan yang di gigit tadi. Terlebih tak ada suplemen atau obat khusus yang saya konsumsi agar terhindar dari malaria ganas papua itu. Lebih lanjut pak aziz mengatakan dengan nada canda jika "malaria papua adalah ole-ole yang harus dibawa pulang sebagai perkenalan bagi mereka para pendatang". Sungguh sesuatu yang tak diharapakan tentunya terlebih untuk diamini. Oh, Puji syukur bagi penguasa langit hingga hari ini saya masih diberi keselamatan dan dijauhkan dari malaria yang menakutkan tersebut.
Selama empat hari di Papua Barat, kami memusatkan aktifitas di Pantai Saoka. Bersama kesepuluh teman-teman, kami dari Parabus Camp Outbound Makassar bertindak sebagai fasilitator/even organisizer outbound bagi Pertamina Sorong. Untuk memudahkan mobilisasi selama berada disana maka kami menyewa dua buah mobil. Dalam beberapa kali perjalanan pulang - pergi kota Sorong ke Pantai Saoka atau sebaliknya maka akan melewati beberapa perkampungan misalnya kampung tanjung kasuari, kampung salak, dan lainya. Sepanjang jalan yang di lewati sangat banyak dijumpai anjing yang berbaring di badan jalan hingga suatu kali nyaris saja ditabrak oleh mobil yang kami tumpangi. Satu hal yang perlu diketahui bagi pendatang adalah jika menabrak anjing maka akan dikenakan denda adat yang berlaku. Dan tak tanggung-tanggung dendanya pun bisa mencapai angka puluhan hingga ratusan juta rupiah. Saya tak begitu paham penentuan jumlah atau harga dari denda adat ini, namun menurut saya hal itu sebagai isyarat agar seseorang lebih berhati-hati terhadap sekitarnya.
Denda adat berlaku dalam tatanan kehidupan suku-suku yang ada di wilayah bumi papua yang memiliki fungsi serta memiliki kandungan makna tertentu. Semua orang wajib menghargai dan menghormati hal ini. Satu hal yang saya pahami tentang kewajiban seorang pejalan adalah menghargai adat-istiadat suatu daerah yang di datanginya. Seorang pejalan adalah tamu bagi daerah yang disambanginya selayaknya mampu menjaga tutur kata, lebih berhati-hati serta harus mampu menghormati segala aturan yang berlaku dalam suatu daerah itu. Papua memiliki keragaman nilai-nilai kearifan lokal yang patut di ketahui tapi juga di hormati. Bahwa kearifan tersebutlah yang menjadi pelangi bagi kekayaan ibu pertiwi tercinta ini.
Bagi teman pejalan waktu itu, satu yang kurang dalam perjalanan ke bumi papua barat ini yakni tak sempat mengunjungi raja ampat yang terkenal itu. Namun bagi saya itu tak menjadi hal yang penting sebab di kampung saya yakni Pulau Tomia, Wakatobi pemandangan lautnya juga terbilang indah dan saya sudah biasa dengan panorama laut entah itu pasir putih, laut biru atau surga bawah lautnya. Tapi saya meyakini jika semesta bersepakat menginginkan suatu waktu langkah kaki akan membawa mengunjungi raja ampat atau tempat lainnya, percayalah. Barangkali, saya akan ke sana lagi untuk membeli koteka yang khas dari papua itu. semoga!
Kesan pertama tentang papua muncul di benak saya sesaat setelah melihat bandaranya dan bangunan pendukungnya misal terminal kedatangan atau keberangkatan bagi penumpang yaitu sungguh jauh dari tontonan kemewahan. Bangunan itu dibuat secara terpisah, tak begitu besar bahkan menurut saya itu terlihat sangat kecil hingga kita tidak akan menemukan eskalator sama sekali. Padahal Sorong adalah pintu gerbang papua barat atau perlintasan bagi wisatawan menuju Raja Ampat sebagai spot penyelaman kelas dunia dan saya rasa semua orang punya mimpi ingin kesana. yah, Amat jauh berbeda dibanding bandara udara yang berada Makassar dengan berdiri megah serta serba modern.
Bagi pejalan seperti saya, empat hari berada di Kota Sorong sudah terbilang cukup untuk melihat lebih dekat dan mengetahui sedikit gambaran sisi kehidupan masyarakat bumi mutiara hitam itu. Mampu menginjakkan kaki saja sudah cukup membahagiakan terlebih menyempatkan mengunjungi beberapa tempat. Saya sudah melihat tembok di tepian pantai kota sorong yang selalu ramai dikunjungi kala sore atau malam harinya bagi mereka yang ingin menikmati romantisme suasana laut atau tiupan sepoi angin malam. Menurut saya tempat ini menyerupai pantai Losari di makassar atau pantai Kamali di Kota Bau-bau yang sayangnya salah satu tempat wisata di Sorong ini belumlah terlalu di tata rapi.
Kota Sorong tidaklah terlalu besar sehingga bisa dikelilingi dalam waktu kurang dari sejam dengan berkedarakan mobil. Barangkali tak seramai Kota Baubau di Pulau Buton akan tetapi menyerupai dalam hal kontur medan yang penuh bukit dimana kita bisa melihat laut dan lampu-lampu kapal pada malam harinya dari jauh.
Foto : Terminal Bandara DEO, Sorong |
Hal lain yang menarik perhatian ketika berada di sorong adalah bagi orang baru akan terheran-heran dengan harga barang atau kebutuhan yang serba tinggi atau mahal. Harga berkisaran dua hingga tiga kali lipat dari harga barang di Makassar. Akan tetapi ini tak begitu mengherankan lagi bagi saya mengingat sebelumnya sering mendengar cerita di kampung dari para perantau/saudagar Tomia, Wakatobi yang banyak memiliki toko-toko atau berdagang di wilayah pelosok tanah Papua. Dari mereka saya mengetahui harga-harga kebutuhan memanglah terbilang mahal mengingat barang-barang tersebut di beli atau didatangkan dari luar pulau papua seperti dari pulau jawa atau sulawesi. Tak sedikit ada berapa daerah di pelosok papua harus menggunakan pesawat untuk mendatangkan dan memasok logistik bagi kebutuhan masyarakatnya.
Jadi tak ada salahnya jika ingin melakukan perjalanan ke papua sebaiknya mempersiapkan segala sesuatunya secara matang utamanya masalah dana. Saya masih teringat ungkapan "di sini semuanya naik kecuali air ludah dan celana dalam" pungkas pak Aziz yang menemani kami selama berada di Sorong waktu itu. Dan barangkali anggapan itu tak terlampau berlebihan, bukan? jika mengingat medan geografis papua yang berupa pulau-pulau dan dikelilingi banyak gunung.
Sempat muncul kekhawatiran bagi saya dan teman-teman waktu itu yakni malaria papua yang terkenal ganas. Penuturan pak Aziz bahwa untuk pendatang baru bisa saja ia akan terkena penyakit malaria hanya dalam waktu tiga hari atau lebih dari seminggu sudah akan merasakan gejalanya. Ketakutan akan terserang malaria sempat menyelemuti perasaan. Benar adanya nyamuknya begitu ganas menggigit sehingga membuat bengkak wilayah badan yang di gigit tadi. Terlebih tak ada suplemen atau obat khusus yang saya konsumsi agar terhindar dari malaria ganas papua itu. Lebih lanjut pak aziz mengatakan dengan nada canda jika "malaria papua adalah ole-ole yang harus dibawa pulang sebagai perkenalan bagi mereka para pendatang". Sungguh sesuatu yang tak diharapakan tentunya terlebih untuk diamini. Oh, Puji syukur bagi penguasa langit hingga hari ini saya masih diberi keselamatan dan dijauhkan dari malaria yang menakutkan tersebut.
Satu games Outbound |
Selama empat hari di Papua Barat, kami memusatkan aktifitas di Pantai Saoka. Bersama kesepuluh teman-teman, kami dari Parabus Camp Outbound Makassar bertindak sebagai fasilitator/even organisizer outbound bagi Pertamina Sorong. Untuk memudahkan mobilisasi selama berada disana maka kami menyewa dua buah mobil. Dalam beberapa kali perjalanan pulang - pergi kota Sorong ke Pantai Saoka atau sebaliknya maka akan melewati beberapa perkampungan misalnya kampung tanjung kasuari, kampung salak, dan lainya. Sepanjang jalan yang di lewati sangat banyak dijumpai anjing yang berbaring di badan jalan hingga suatu kali nyaris saja ditabrak oleh mobil yang kami tumpangi. Satu hal yang perlu diketahui bagi pendatang adalah jika menabrak anjing maka akan dikenakan denda adat yang berlaku. Dan tak tanggung-tanggung dendanya pun bisa mencapai angka puluhan hingga ratusan juta rupiah. Saya tak begitu paham penentuan jumlah atau harga dari denda adat ini, namun menurut saya hal itu sebagai isyarat agar seseorang lebih berhati-hati terhadap sekitarnya.
Denda adat berlaku dalam tatanan kehidupan suku-suku yang ada di wilayah bumi papua yang memiliki fungsi serta memiliki kandungan makna tertentu. Semua orang wajib menghargai dan menghormati hal ini. Satu hal yang saya pahami tentang kewajiban seorang pejalan adalah menghargai adat-istiadat suatu daerah yang di datanginya. Seorang pejalan adalah tamu bagi daerah yang disambanginya selayaknya mampu menjaga tutur kata, lebih berhati-hati serta harus mampu menghormati segala aturan yang berlaku dalam suatu daerah itu. Papua memiliki keragaman nilai-nilai kearifan lokal yang patut di ketahui tapi juga di hormati. Bahwa kearifan tersebutlah yang menjadi pelangi bagi kekayaan ibu pertiwi tercinta ini.
Bagi teman pejalan waktu itu, satu yang kurang dalam perjalanan ke bumi papua barat ini yakni tak sempat mengunjungi raja ampat yang terkenal itu. Namun bagi saya itu tak menjadi hal yang penting sebab di kampung saya yakni Pulau Tomia, Wakatobi pemandangan lautnya juga terbilang indah dan saya sudah biasa dengan panorama laut entah itu pasir putih, laut biru atau surga bawah lautnya. Tapi saya meyakini jika semesta bersepakat menginginkan suatu waktu langkah kaki akan membawa mengunjungi raja ampat atau tempat lainnya, percayalah. Barangkali, saya akan ke sana lagi untuk membeli koteka yang khas dari papua itu. semoga!
- Makassar, 01/03/2014
Baca juga tulisan :