Sebelum Reklamasi |
Pantai putihmu, bebatuan karang, laut biru, tarian ombakmu, serta segala nyanyian alamnya adalah berkat bagi kami. Menikmati sepoi anginmu merupakan kedamaian bagi rohaniku. Saya sentosa atas segala hal itu. Sungguh!
Daratan Tomia hanyalah berupa batuan karang. Tak ada tanaman padi di sana, namun ubi kayu mampu tumbuh subur maka diolahlah menjadi kasoami atau soami sebagai makanan pokok warganya. Menyantapnya dengan ikan-ikan laut segar selalu terasa nikmat. Soami juga adalah ciri khas WaKaToBi atau Tomia khususnya. Orang pulau di tanah rantau pasti selalu merindukan makanan tradisional yang khas serupa gunung latimojong ini. Membincangkan Tomia tentu tak terlepas dari itu. Iyakan! I loveyou kasoami.
Pulau Tomia serupa gadis cantik yang aduhai. Banyak orang memendam nafsu ingin mendekap juga mencumbunya. Ia diberkati wajah yang menggoda, itulah alamnya. Orang-orang begitu takjub pada tayangan di layar tivi. Ada banyak decak kagum dan puja puji kepadanya yang bagi warga setempat itu merupakan perkara biasa saja, tak ada yang berlebihan. Toh, kesemua itu telah menjadi bagian interaksi keseharian mereka. Laut sudah menjadi sahabat karib mereka.
Setelah reklamasi |
Membangun Rumah dengan menimbun laut |
Ditengah pujian atas keberhasilan promosi pariwisata itu selalu ada sisi lain yang tak banyak disorot. Ada keping kenyataan yang seolah-olah diabaikan. Lihat saja, di pulau Tomia hari ini warganya mengalami krisis listrik. Itu sudah berlangsung tiga bulan lebih. Mesin-mesin yang didatangkan adalah barang rongsokan atau bekas. Bayangkan jika hal itu terjadi pada kota atau tempat anda sekalian bermukim dimana listrik adalah kebutuhan primer. Bayangkan dampaknya terhadap segi ekonomi, dan sebagainya. Bayangkan pula anda melewati malam permalam dengan kondisi gulita. Kita tak boleh membedakan antara kota dan desa, bukankah negara mengatakan keadilan itu harus merata.
Ironisme lain ditengah kampanye konservasi, pantai dan pasir putih perlahan tapi pasti telah tiada. Ia ditimbun lalu beton berdiri kokoh. Sepertinya setiap orang bisa membangun dan menimbun laut. Tak ada larangan keras atau pengawasan atas segala aktivitas semacam itu. Sepertinya legal dan sah-sah saja. Kita menganggapnya sebagai kemajuan menuju WaKaToBi yang indah namun tak menyadari ada sesuatu yang telah dihilangkan. Maka amat wajar jika pemandangan hari ini, kita tak akan menemukan perahu-perahu tradisiomal (koli-koli) bersandar di atas pasir putih. Kita juga tak akan melihat pemandangan anak-anak kecil bermain membangun istana pasir seperti dahulu. Kesemua itu telah hilang atas nama kemajuan.
Oh, tomia ku yang dahulu indah. Tempat saat masa kecil biasa bermain bola di atas pasir putihnya. Tempat dimana dulu kapal-kapal bagang asal Selatan berjejer di sepanjang garis pantaimu. Kini engkau hanyalah cerita semata yang akan didongengkan di beranda rumah bersama anak cucu. Semoga Tomia tidak seperti kota-kota besar dimana orang-orang harus membayar mahal demi bisa melihat pemandangan pasir putih. Oh, tidak.
Duhai pulau Tomia tercinta, semoga atas nama kemajuan dan pembangunan, nilai-nilai kelestarian alam dan kearifan lokalmu tetap di pertahankan tapi juga terjaga.
∼ Pulau Tomia, 17 mei 2016