Baru saja musim petik buah cengkeh berakhir. Dari tanah Maluku tepatnya dari Pulau Taliabu, saya mendapat kiriman seliter cengkeh kering. Jika ingin menyusuri pulau tersebut maka akan banyak dijumpai orang-orang pulau tukang besi atau wakatobi serta suku buton yang banyak mendiami wilayahnya. Bahkan bahasa daerah wakatobi adalah alat komunikasi sehari-harinya yang digunakan di pulau taliabu. Nah, kebetulan disana ada keluarga sehingga saya dikirimi rempah cengkeh. Terimakasih.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa cengkeh memang banyak dijadikan sebagai bahan rempah-rempah untuk pembuatan kue atau bahan baku rokok serta lainnya. Sudah sejak dulu lamanya kekayaan rempah nusantara termasyhur-terkenal dan hal itulah yang melatari serta menjadikan bangsa kolonial eropa saling berlomba juga bunuh membunuh agar menguasai rempah nusantara. Sebab kita tahu kala itu di eropa cengkeh dan rempah lainnya merupakan komoditas amat mahal nilainya. Pelajaran sejarah memberitahu tentang hal itu.
Sebagai penikmat kopi atau seorang kafeinis, saya hanya ingin mencicipi dan mencoba membuat kopi dengan rasa cengkeh hadiah dari tanah Maluku tadi. Saya lalu mencari referensi dengan berselancar di google tentang cara meracik kopi rempah. Ada banyak panduan disana dan ruang maya menyediakan segalanya, ya sangat banyak bertebaran. Saya hanya memilih lalu menggunakan cara yang sederhana saja. Kali ini saya tak ingin repot-repot, apalagi berbelit tentu tidak dan saya hanya ingin yang simple.
Dalam sebuah wadah. Beberapa butir cengkeh saya rebus dalam takaran air yang secukupnya. Kemudian sepotong kayu manis ditambah berapa sendok kopi hitam pabrikan. Setelah mendidih dan saya anggap telah masak. Saatnya disajikan dengan cara dituang kedalam cangkir-gelas. Boleh juga dicampur dengan susu kental manis agar mendapat hasil yang berbeda dan klimaks. Alhasil lahirlah secangkir kopi rempah yang wanginya menembus indera penciuman serta menyengat indera perasa diri ini. Yeah. Segampang itu.
Soal rasa, barangkali bolehlah diadu dengan kopi yang dijajakan di warung-warung kopi pinggiran metropolitan Makassar langganan saya. Aroma harum cengkeh bersenyawa dengan aroma harum kayu manis menghasilkan perpaduan yang komplet. Ketika menyeruputnya rasanya begitu kental terasa lalu setelah itu akan tertinggal di ujung lidah. Sungguh sebuah cita rasa yang tiada tara. oh, iya menyeduhnya saat dingin juga sangat enak, maksudnya disajikan menggunakan es dingin akan mendapatkan rasa kenikmatan lain.
Tentu saja, untuk mendapatkan rasa dan sensasi tertinggi ada banyak hal atau cara dalam meracik kopi tergantung kemauan saja. Walau saya adalah seorang penyuka akut kopi hitam namun terkadang juga harus berimprovisasi seperti yang disebutkan diatas tadi. Yeah, agar tidak monoton saja dan dapat menyelami banyak rasa. Entah bagaimana dengan anda sekalian.
Namun soal kopi, bagi saya tak hanya bicara ihwal rasa dan sensasi semata. Tetapi ada hal lain misalkan saja tentang filosofi kopi sendiri. Tentang memahami dan memaknai kopi dari balik cangkirnya. Tentang kopi sebagai miniature hidup bahwa ada hitam dan putih juga pahit manis kehidupan dibumi yang fana ini. Juga lewat kopi berbicara tentang pilihan. Saya penyuka kopi hitam, barangkali anda penyuka teh, susu, latte, dan sebagainya. Lalu pada pilihan-pilihan tersebut setiap orang harus saling memahami bukan saling menyalahkan terlebih menghakimi.
Diantara tegukan-tegukan nikmat kopi rempah yang saya seruput. Diri ini mendadak membatin bahwa bumi nusantara ini amat kaya raya dengan tumbuh subur lalu menghasilkan kopi terbaik dan cengkeh terbaik serta rempah-rempah terbaik lainnya. Selain hal tersebut, ada peluh tetes keringat para petani yang bekerja keras untuk menghadirkan semua itu. Oh, puji syukur atas nikmat sang pencipta alam dan semesta isinya. Pun terberkatilah wahai para petani kopi.sejahteralah.
- Salam satu cangkir, wakatobi 12 oktober 2016