“rindu
pada kampung, pada segala kekhasannya : kasoami, tihe, fusese, serta ingin membaui
lautnya adalah bentuk cinta kepada pulau tomia”
Tinggal nan jauh dari kampung halaman membuat
saya rindu akan makanan khasnya, pun suasana Pulau Tomia dengan laut biru serta
deburan dan tarian ombaknya. Di kota besar metropolitan Makassar saya amat
jarang melihat dan membaui laut terlebih yang berhubungan dengan makanan khas
semisal kasoami yang sudah menjadi tradisi
masyarakat pulau tukang besi itu, saya tak pernah menyantapnya.
Kasoami atau soami begitu orang
dikampung menyebutnya adalah sesuatu hal yang wajib sebagai makanan pokok.
Kondisi geografi-topografi daerah wakatobi yang berupa batuan dan karang
menjadikannya terbatas untuk menanam bahan makanan. Di sana padi tak akan
didapati sebab tak ada sungai layaknya daerah lain maka wajar jika hanya ubi
kayu-singkong yang menjadi andalan penduduk. Di Wakatobi beras akan di impor
dari daerah lain.
Atas perihal tersebut sejak kecil anak-anak
pulau sudah terbiasa dengan kasoami yang disajikan bersamaan hasil-hasil laut
yang melimpah pada garis laut wakatobi semisal ikan korapu, boronang, serta
segala macam jenis kerang-kerangan. Juga yang menjadi kesukaan orang pulau
adalah duri babi (baca ; tihe) yang diolah dengan berbagai macam rasa.
Saya termasuk yang paling menyukainya, entah bagaimana dengan anda?
Beberapa hari ini saya menikmati makanan-makanan
unik kampung halaman. Saya mendapat kiriman berupa kasoami serta ikan kering
boronang, dan beragam ikan lainnya. Saat menyantapnya saya menemukan cita rasa
yang luar biasa. Makanan khas kampung halaman saat disajikan atau dinikmati
ditempat jauh adalah hal yang luar biasa. Kenikmatannya serasa mengalami
peningkatan berlipat-lipat.
Tak hanya itu, bahagiapun saya cicipi tatkala
menikmati panganan lain khas kampung yaitu karasi. Kue ini sangat pas
saat saya nikmatinya bersama secangkir teh hangat. Menemani kopi hitam juga
lebih baik dalam fantasinya. Amat sering ibu saya (baca : wa ina) mengirimkan
dalam setahunnya. Saya sangat menyukainnya sebab kue karasi buatannya sangat
enak bahkan para tetangga di kampung sering membeli-memesan untuk dibuatkan
bahkan istri bupati Wakatobi pun pernah memesan dalam jumlah banyak. Sekali
lagi, kue karasi buatan wa ina amat enak tiada tara. Sungguh!
Barangkali tak berlebihan, saya ingin
mengatakan seperti yang dikisahkan diawal-awal bahwa defenisi lain bahagia itu
sesederhana ketika ditanah orang : saya menikmati makanan khas kampung
istimewanya lagi hal tersebut diracik oleh ibu sendiri. Oh, puji syukur
penguasa langit. Sehat-sehatlah ibu.
-
Secangkir
teh dan beberapa kue karasi buatan wa ina. Makassar, 25 Mei 2015.
bahagiaku itu, ketika makan pempek bersama calon istri mas hehehe
ReplyDeletehehee... boleh-juga itu
Deletekampuang nan jauh di mato...
ReplyDeletesama mas, waktu jadi perantauan dulu saya juga sering ngalamain hal seperti ini
ya, itu merupakan bahagian dalam arti lain :)
siiippp mas choirul
DeleteMakanan khas kampung halaman memang sungguh unik, ngangenin dan tiada henti mengunggah selera. Apalagi makanan khas tersebut adalah hasil racikan orangtua sendiri (ibu). Rasanya tak bisa di lukiskan dengan kata-kata, bahkan seorang chef tersohor pun tak akan mampu menandinginya.
ReplyDeleteyah benar skali..
Deletedisana kasoami jadi makanan pokok mas ? saya belum ngerti apa itu kasoami, sampe beres bacanya -_-
ReplyDeletePenasaran bertemu dengan Kasoami dan karasi, tadi sempat kepleset baca terasi mpe ngeh masa terasi dengan teh :D
ReplyDeletePenasaran bertemu dengan Kasoami dan karasi, tadi sempat kepleset baca terasi mpe ngeh masa terasi dengan teh :D
ReplyDeleteSaya patut bersyukur dan berbangga, pernah disuatu waktu merasakan langsung racikan kopi Wa Ina dan suguhan Karasi buatannya. Di Jeneponto kue ini disebut Bannang-bannang, di Makassar orang menyebutnya kue Sarang semut. Apapun namanya, peganan ini memang enak rasanya apalagi jika terlahir dari tangan Sang Maestro, titip salam hormat Saya buat Ibunda di Tomia serta seluruh keluarga
ReplyDelete