March 30, 2021

Mengenang ROMANTISME NAIK GUNUNG

 


Kisah-kisah tentang naik gunung dan percumbuan dengan alam liar selalu saja menarik untuk dikisahkan kembali. Cerita keheningan di tengah kelelangan belantara selalu saja abadi. Sewaktu-sewaktu dapat membuncah untuk di kenang. Terlalu banyak suka duka yang tak akan selesai untuk diceritakan bersama bergelas-gelas kopi diberanda rumah. Walau  tak banyak gunung yang saya daki sebab diri ini bukan kolekter gunung-gunung. Melampaui hal itu hakikat mendaki gunung bagi saya pribadi bukan perihal jumlah atau tingginya gunung melainkan bagaimana kita memaknai setiap langkah tapak kaki sepanjang perjalanan dan bagaimana mata merekam & menyerap hikmah dari apa yang ditangkapnya. 

 

Di Gunung Lompobattang, Kabupaten Gowa-Sulawesi Selatan, 2007 menjadi awal mula pergumulan saya dengan keheningan gunung, kabut, suara gemercik merdu aliran sungai serta banyak hal indah ketika berada ditengah hutan. Kemudian saya pun jatuh hati dengan aktifitas yang menuntut adrenalin lebih ini, sekali lagi naik gunung menuntut kemampuan fisik yang lebih. Tentu saja Sar Unhas mengenalkan semua itu pada saya. Bahkan DIVING yang juga menjadi aktifitas menyenangkan untuk dilakukan berapa tahun belakangan ini adalah karena Sar Unhas yang mengenalkannya. Saya bersyukur atas semua itu. Saya berkhidmat kepada Sar Unhas, serta hormat kepada senior-senior dan teman-teman saya disana.

Pertama kali naik gunung langsung mendapatkan pengalaman yang tak akan terlupa bagaimana tidak, sejak awal pendakian hujan mengguyur kami sepanjang perjalanan. Malam itu kami memutuskan mendirikan camp  di Pos 7. Bivak yang kami bangun menggunakan ponco atau jas hujan, saat itu belumlah diizinkan menggunakan tenda dome. Alhasil hujan dan angin semalaman memaksa untuk suntuk sebab kantong tidur (sleeping bed) serta jacket yang dikenakan untuk menghalau suhu dingin semuanya basah. Jika pernah naik gunung, kamu akan tahu bagaimana dingin memparipurna kala malam-malam di gunung terlebih hanya bermodalkan ponco oh, well malam terasa amat lama berganti pagi. Itulah serunya pendakian pertama saya dalam masa pra diklat atau prosesi siswa orientasi.

Ihwal diatas hanya permulaan saja. Setelah itu saya menjadi ketagihan untuk mendaki gunung alias tak pernah kapok. Ya, naik gunung semacam candu sekali mencoba maka tak ingin berhenti. Sebulan lalu seorang teman dari anggota Sar Unhas di Makassar, mengabarkan atau semacam mengajak saya untuk mendaki gunung pada beberapa bulan kedepan. Tentu saja itu bentuk penghargaan, saya sedang mempertimbangkannya. Gegara ihwal itu pun yang melatari saya menghadirkan catatan ini, mengenang romantisme naik gunung dan menyusun kepingan-kepingan kenangan tersebut dalam baris-baris tegak lurus pada blog ini.

Sebenarnya aktifitas pendakian saya selama di Makassar tak bisa dipisahkan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Sar Unhas. Entah itu dalam bentuk siaga atau operasi. Bisa dibilang dalam setahun saja kegiatan siaga insidentil ada banyak kali pendakian untuk gunung-gunung disekitar Makassar. Beda dengan operasi pencarian orang di gunung bisa dihitung jumlahnya dalam setahun.

Selain itu saya menemani adik-adik untuk pendataan beberapa gunung seperti ke gandang dewata atau lintas beberapa gunung. Kadang-kadang juga jika ingin ngopi diatas gunung saya pergi fun hiking dengan beberapa teman ke Latimojong atau beberapa kali lintas Lompobattang-Bawakaraeng dan Lompobattang-Bulu Baria. Dan yang paling seru menemani teman-teman kostan sesama orang pulau tomia ke bawakaraeng dan lembah Ramma. Oh, iya saya juga ingin menyebut jika pernah menemani teman sekelas saya setelah menyelesaikan tugas besar menggambar. Semacam ucapan terimakasih saya sebab banyak membantu saya selama menyelesaikan tugas kuliah tersebut.


Sejatinya setiap pendakian menyisakan kenangannya masing-masing. Seperti misalnya mendaki gunung gandang dewata di Sulawesi barat. Jalur gunung ini lumayan panjang dan berkontur rapat serta durasi yang lama untuk pulang pergi. Sebagai ciri hutan tropis hujan sepanjang pendakian adalah tantangan di gandang dewata. Sungai-sungai berarus deras banyak dilintasi. Bahkan jika ingin meminum air dari sungai kita harus waspada sebab banyak pacet yang ikut masuk kedalam botol. Atau sebelum tidur harus memeriksa sekujur tubuh sebab kadangkala si lintah ikut masuk menyusup ke dalam pakaian lalu menghisap darah sepuasnya.

Bagi saya pernah mendaki ke puncak tertinggi Sulawesi barat tersebut adalah pengalaman yang paling mengesankan, utamanya menjumpai kebaikan orang-orang kaki gunung yang hangat menjamu kami dengan keramahtamahan (baca : hospitality) di rumahnya. Tak hanya itu kami juga di jamu dengan kopi dari sekeliling rumahnya. Bisa dibilang mendaki gunung gandang dewata adalah menguji manajemen pendakian suatu tim dan saya tidak perlu meragukan teman-teman saya di sar unhas. Saya juga terkagum-kagum dengan kemampuan tiga perempuan dalam expedisi ini utamanya fisik mereka. Sekali lagi, salut.

Lain lagi kisahnya, saya bersama beberapa teman dari berapa kpa (kelompok pecinta alam) sewaktu jalan-jalan ke puncak tertinggi Sulawesi yakni Gunung Rantemario (puncak pegunungan Latimojong) di Kab. Enrekang, Sulawesi Selatan. Beberapa hari memutuskan camp di atas hanya sekedar untuk melihat sunrise dan sunset, namun sayangnya hujan sepanjang hari bahkan badai extrim nyaris saja mencelakai kami ketika menggapai triangulasinya. Namun perjalanannya cukup seru dalam cuaca buruk seperti itu. Sekali lagi ini pendakian yang cukup beresiko terlebih satu teman kami mengalami trouble/cidera sejak awal pendakian.

Dan yang membuat saya sedikit kaget adalah ketika empat teman kuliah saya meminta diantar naik Bawakaraeng. Hari itu tak banyak kelompok pendaki yang kami jumpai dalam pendakian. Dikarenakan sudah waktu libur kuliah maka kami cukup santai berjalan, jika tidak salah mengingat kami menghabiskan tiga hari empat malam di atas gunung. Saya juga menyusuaikan dengan kemampuan berjalan teman-teman saya.

Dari pos 5 menuju pos 10 atau Puncak Bawakaraeng hujan mengguyur kami seharian. Sudah hampir magrib kami sampai di puncak. Dua kawan saya menggalami gejala Hipothermia. Di tengah guyuran hujan malam itu ditambah cuaca yang semakin dingin kami menggelar tenda secepatnya lalu menangani kedua kawan yang terkena hipo tadi. Syukurlah semua aman terkendali hingga pulang ke kostan dengan selamat. Umpama kenapa-kenapa oh,well bisa-bisa saya dipenjara. Makanya saya tidak mau panggil-panggil orang untuk naik gunung jika tanpa persiapan yang memadai sebab bisa ribet urusannya.hehe

Baik satu kisah lagi. Seperti yang saya ceritakan diawal tadi bahwa saya juga pernah menemani teman kostan maksudnya sesama mahasiswa tomia yang kebetulan kami kost sepondokan. Setahu saya ada dua kesempatan saya membawa mereka naik gunung. Sebagai gunung yang dekat dan terkenal di Makassar, maka seperti biasa kami mendaki ke Gunung Bawakaraeng yang berada di Kabupaten Gowa. Sebelum hari H keberangkatan, selama sebulan saya menggenjot fisik mereka dengan lari keliling kampus supaya tidak ada kendala fisik dalam perjalanan nantinya.

Melaju dengan menggendarai tiga kuda besi itu artinya kami berenam. Mereka adalah La Zule, Hamrin, Alun, La Fala, dan La Enda. Selama pendakian kami mendirikan camp pada pos 3, pos 8 dan pos 10 (puncak bawakaraeng) lalu menginap di basecamp. Tidak ada masalah dalam pendakian kali ini. Semua moment yang diharapkan terkabul, melihat senja dan matahari terbenam serta lautan awan dari triangulasinya. Hal yang tidak pernah dilihat dan dirasakan sebelumnya oleh teman-teman sekostan saya.

Namun dalam perjalanan pulang kami menemukan satu kelompok pendaki yang kira-kira berjumlah tujuh orang. Asal mereka dari satu kampus swasta di Makassar. Sialnya, satu orang dari mereka terkena hypothermia di pos 5. Alhasil kami menandu perempuan tersebut hingga ke basecamp kelompok pendaki tersebut. Gara-gara mengevakuasi mahasiswa tersebut, jadilah kami terlambat kembali ke Makassar dan harus menginap lagi di basecamp. Dan rupanya satu teman saya sudah dicari-cari oleh orangtuanya selama empat hari lamanya hingga hampir di laporkan ke pihak kepolisian sebab ia tidak memberitahu orangtuanya. Padahal saya sudah mewanti-wanti untuk izin terlebih dahulu pada keluarga. Setelah itu saya jadi kapok mengajak seseorang naik gunung jika tidak mematuhi prosedur yang saya buat sendiri. Sebab hal itu ada alasan dan pertimbangan khususnya. Mungkin hampir-hampir sama jika saya menemani orang yang ingin menyelam, sepanjang mendengar dan mengikuti prosedur yang saya katakan Insya Allah dapat menghindari maupun mengurangi hal yang tak diinginkan. Hehe!

Oh, well. Umpama saya mengisahkan perjalanan mendaki saya bisa menjadi buku dalam ratusan halaman. Jadi tidak kesemuanya akan saya ocehkan di blog ini. Barangkali lain waktu saya akan tulis lagi atau ada yang ingin mendengarnya bisa datang langsung menyeduh kopi bersama di beranda rumah saya sembari bercerita. Maka saya sudahi dulu catatan pada postingan kali ini. Pesan saya : jangan berani naik gunung tanpa persiapan yang memadai, sebab naik gunung ada ilmunya. Jangan mau mati sia-sia di atas sana. Semoga fenomena kecelakan di gunung seperti beberapa kasus belakangan ini tidak terjadi lagi. Salam lestari* 

 

-          Pulau Tomia, 31 Maret 2021

 

Baca Juga :

Kisah Sahabat (Zule) Yang Kecanduan Naik Gunung  

 


 

Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

TERPOPULER BULAN INI