June 25, 2020

Virus Corona & Mudahnya Kita Menstigmasisasi

Pada awal hangat-hangatnya covid-19 dimana menjadi pemberitaan dan konsumsi sehari-hari oleh media mainstream pun social media. Tak terkecuali di kampong saya Pulau Tomia selalu menjadi isu yang hangat diperbincangkan di para-para (semacam gazebo depan rumah). Terlebih secara nasional angka yang terpapar dan yang meninggal kian hari cukup tinggi. Isu lock down atau pembatasan social begitu gencar. Sekolah & kampus-kampus pun di liburkan lalu diganti dengan kuliah jarak jauh. Aktifitas social yang mengundang khalayak ramai dikurangi bahkan ditiadakan. Rumah-rumah suci seperti masjid atau gereja sementara ditutup. Bahkan rencana orang-orang untuk menikah sementara waktu harus memendam hasratnya. 


Akibatnya adalah banyak perantau atau pelajar yang pergi belajar di kota besar bergegas pulang kampong. Barangkali sebahagian besar atau hampir semua dari mereka sudah berada di Tomia hari ini. Ada banyak alasan yang mendasari tentunya. Seorang teman bercerita “kalau iya merasa beruntung bahwa pilihannya saat itu adalah tepat sebelum aturan  pembatasan social sebenar-benarnya diberlakukan di Jakarta. Jika tidak, entah kapan saya akan bisa pulang sebab seperti yang kita semua ketahui jalur laut dan penerbangan pun di stop sementara waktu, lanjutnya”. 

Di pulau Tomia pintu-pintu masuk kedatangan semisal pelabuhan akan dijaga oleh tim gugus tugas kesehatan. Mereka melakukan kewajibannya menjalankan protocol kesehatan seperti memeriksa suhu tubuh, menyemprot, mendata, dan lainnya. Itu dilakukan setiap harinya. Selanjutnya bagi warga yang baru datang/tiba diwajibkan untuk melakukan karantina mandiri selama 14 hari lamanya utamanya asal dari zona merah. walau pada kenyataannya banyak juga yang tidak mematuhi. Malam harinya, petugas keamanan melakukan patroli keliling untuk membubarkan kegiatan kumpul-kumpul. Pada jalan tiap masuk kampong dibuatkan portal dengan persyaratan wajib hukumnya mengenakan masker dan cuci tangan agar bisa lewat. Yang walau pada kenyataannya sempat menjadi polemik.

Itu adalah sekilas gambaran yang bisa saya deskripsikan ihwal situasi berapa bulan lalu, tentu hal yang berbeda dengan kondisi akhir-akhir ini bahkan sekarang. Nampaknya protocol kesehatan telah dilongggarkan, orang-orang sudah jarang yang memakai masker, barangkali saja karena daerah ini dianggap sebagai wilayah zona hijau. Namun bukankah kita tidak boleh abai terlebih kasusnya tiap hari bertambah. Entah kita percaya virus ini nyata atau tidak!

***

Oh, iya! Saya masih ingat, satu dari sekian para perantau tadi adalah seorang keluarga dekat (baca : sepupu). Mereka memutuskan balik ke kampong dikarenakan usaha mereka ditanah rantau cukup berdampak akibat korona. Sialnya jalur yang mereka pilih adalah jalur laut dengan menggunakan kapal pelni. Seperti yang diketahui dan sempat menjadi berita nasional jika Kapal Lambelu dimana beberapa abk dan penumpangnya dinyatakan ada yang terpapar atau positif virus covid-19. Bahkan sempat diberitakan ditolak disalah satu tujuan persinggahannya.

Berbeda dengan perlakuan kepada pendatang atau orang dalam pengawasan lainnya, mereka langsung di jemput menggunakan ambulance lalu dibawa ke rumahnya. Keluarga dilarang untuk bertemu atau melakukan kontak dalam jarak dekat. Mengenai protocol kesehatan, meraka amat taat mengikutinya. Beberapa kali mereka di datangi oleh tim gugus tugas untuk di cek kesehatannya. Tidak ada yang mencurigakan soal kondisi mereka normal saja.  Namun diluar sudah beredar kabar bahwa mereka terkena korona apalagi suami dari sepupu tadi sedang tidak enak badan. Maka bertambah kuatlah rumor tersebut.

Terkadang ada bahasa-bahasa yang mengatakan jika mereka harus diusir saja. Sampai pada titik ini saya sendiri akan sepakat jika mereka harus mendapatkan perhatian khusus dari tim gugus untuk mencegah atau mendeteksi jika mereka adalah sebagai carrier atau pembawa virus. Namun jika ada perkataan diusir, oh well! sungguh hal demikian adalah tidak beradab dan tak manusiawi rasanya. Terlebih hal ini dalam konteks Tomia yang masih kental dengan kearifan local tentang persaudaraan & kebersamaannya (toponamisi).

Setelah melewati karantina mandiri 14 hari barulah mereka diperbolehkan untuk keluar sebagaimana telah melewati prosedur yang berlaku. Namun hampir sebulan kemudian tim gugus covid tiba-tiba mendatangi rumah mereka kembali dengan pakaian lengkap alat pelindung diri. Tentu saja ini menjadikan mereka shock berat atau kaget. Toh tanpa ada pemberitahuan sebelumnya jika akan di test atau pemeriksaan lagi. Terlebih suami dari sepupu tadi memang sedang kurang sehat yang ia dapat sejak dari rantauan. Kali ini mereka di rapid test. 

Nah sebelum hasilnya keluar, bahasa-bahasa stigmasisasi dan diskriminasi sudah banyak beredar kalau mereka positif covid 19. Keluarga yang lain sudah mulai dihindari oleh orang-orang. Hal ini cukup saya rasakan sebab melihatnya sendiri. Saya memahami kondisi kebatinan sepupu sekeluarga tadi. Ada juga bahasa yang mengatakan agar tak lagi melewati kampong dimana sepupu tadi tinggal. Saya sendiri memaklumi jika akan ada orang yang panic bahkan mungkin phobia/takut berlebih mengenai kondisi tersebut.  Orang-orang akan takut jikalau-kalau akan tertular virus. Ini adalah rekasi yang wajar saja tentunya.

Namun hal lain, tekanan akan berbeda dialami oleh si orang dalam pengawasan tadi. Entah itu phsikologi, mental atau hubungan social mereka yang dikucilkan tentu ini akan memberikan sedikit guncangan. Mereka sudah terlanjur menerima stigma negative atau diskriminasi bahwa mereka tertular virus. Orang sudah menjustifikasi lebih dahulu jika mereka positif. Padahal kita semua tahu bahwa hasil rapid tes saja belum diumumkan. Kita semua juga tahu bahwa ada tahapan sehingga seseorang benar-benar divonis positif virus seperti dua kali rapid tes dan kemudian melalui test pcr swab. Tidak serta merta seorang dalam pengawasan lantas kita langsung menvonisnya.

Barangkali kita terlalu sibuk & mudah menstigma bahkan mengutuk mereka yang  bahkan belum dinyatakan positif.

Pejabat-pejabat kita dikampung, tokoh yang dituakan, petugas-petugas medis, aparat keamanan, kepala desa, kepala lingkungan atau mereka yang terpelajar mestinya lebih banyak memberikan kesejukan, edukasi dan pemahaman kepada masyarakat awam bahwa hal ini bukanlah aib, siapa saja bisa terkena atau bahkan menjadi pembawa virus entah itu saya, kamu bahkan keluarga yang kita sayangi. Tim gugus alangkah baiknya jika orang dalam pengawasan dan  setelah 14 hari lamanya itu agar tetap mengontrolnya untuk tidak berkeliaran dahulu sebelum melewati berbagai tes yang disyaratkan sesungguh-sungguhnya bebas virus. Bila perlu menambah masa karantinanya. Jangan setelah kemana-mana membaur dengan lingkungan lalu tiba-tiba akan dites, lantas bagaimana jika virus telah menyebar! Barangkali itu yang kurang dari penanganan virus di wilayah Tomia sejauh yang saya catat.

Memang benar kita semua harus saling mengingatkan, berhati-hati dan menjaga jarak tentunya dengan tetap melaksanakan protocol yang telah ditetapkan pemerintah. Layar kaca kita memberitakan bahwa ada pasien atau jenazah yang hendak dimakamkan ditolak bahkan mobil jenazahnya pun dilempari. Oh, janganlah kita menjadi semiris demikian. Bagaimana jika terjadi pada diri dan keluarga kita. Maka alangkah baiknya jika kita saling memberikan semangat dan dukungan kepada siapa saja bagi pasien yang terkena virus ini. 

***

Alhasil, semua tes yang dilewati sepupu saya adalah non reaktif entah itu pada rapid tes ke dua kalinya yang berarti tidak terpapar sama sekali. Akhirnya, apresiasi yang terlampau tinggi bagi mereka yang mengambil peran sebagai bagian dari tim gugus tugas penangan covid -19 di wilayah tomia khususnya. Semoga senantiasa diberikan kesehatan. Serta dalam menyongsong new normal kedepan kita sekalian tetap taat dan konsisten melaksakan protocol kesehatan sebagaimana telah ditetapkan pemerintah. Semoga kita sekalian selalu dijauhkan dari virus korona tersebut. Amiinn!!

- Pulau Tomia, 25 juni 2020 

Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

TERPOPULER BULAN INI