June 28, 2016

Kisah Ramadhan

Sekarang Ramadhan,  bulan nan istimewa. Saya ingin berkisah apa adanya dipostingan kali ini. Ketika memasuki bulan suci puasa setiap muslim menjalaninya dengan riang gembira adapula yang melewatinya dengan penuh suka duka. Begitupun dengan diri ini, bulan puasa selalu saja menyelipkan kisah dan warna tersendiri.


Saat di Makassar, ada banyak kenangan tentang ramadhan yang berkesan. Tentang kehidupan anak rantau. Tentang kehidupan ana pondokan (sebutan bagi mahasiswa Makassar yang kost-kostan). Hingga pengalaman mendaki gunung di waktu bulan puasa, yeah!! saya pernah lakukan dengan mendaki gunung favorit di Sulawesi selatan yakni bawakaraeng. Tentu saja saya tetap berpuasa, nah kemampuan survive seseorang diuji dalam situasi seperti ini. 

Saya masih ingat dalam kehidupan dipondokan, seseorang biasanya akan hidup pas-pasan atau hidup yang serba sederhana. Terkadang atau bahkan sering sekali saya dengan beberapa teman sepondokan akan saweran atau patungan untuk membeli lauk, ikan atau ayam lalu dimasak bersama dan disantap bersama-sama pula dikala sahur. Intinya ada pada nilai kebersamaannya, sungguh nikmat. Di pondokan solidaritas begitu terjaga.

Dibulan puasa, Saya juga biasa mengantri di warung makan di area pondokan. Ada banyak mahasiswa lain yang memesan makanan. Jika terlambat datang bisa jadi waktu imsak tiba barulah akan dilayani. Atau tak jarang pula harus bersahur ria dengan semangkuk mie instant. Itu juga pernah atau bahkan sering saya alami, terlebih memasuki saat-saat yang kritis atau tanggal tua. Terimakasih mie instant, engkau teman terbaik anak rantau seperti saya.

Oh, iya. Jika berbuka puasa maka saya dan ana-ana sepondokan akan memilih berbuka di masjid. Saya melihat tak hanya kami namun ada banyak anak kostan yang lain pergi berbuka di masjid terdekat dengan pondokan tersebut. Yah, sebagaimana yang diketahui dan sudah menjadi rahasia umum bahwa berbuka dimasjid adalah gratis. Jika beruntung kadang-kadang juga akan mendapat nasi kotak untuk dibawa pulang. Yang pasti saya selalu menyukai suasana seperti itu yang datang hanya sekali dalam setahun, setidaknya hal tersebut mengurangi pengeluaran anak kostan. Hehe..

Sejatinya ada banyak kisah dan catatan saya tentang ramdhan di tanah para daeng tersebut. Namun barangkali yang paling berkesan diantara kesan yang lainnya adalah saat awal-awal memutuskan ke kota ini. Saya tiga tahun berturut-turut tak pernah mudik yang artinya tiga tahun pula saya melewatkan ramadhan pertama di negeri orang. Tak banyak yang bisa setabah itu. Dan pada situasi seperti demikian kerinduan saya tentang kampong, tentang orang-orang terkasih dan tentang pulau mungil bernama Tomia adalah menjadi ujian.

Saya ingin mengatakan bahwa saat mendekati lebaran semua orang tak akan tahan untuk tidak mudik atau pulang kampung maka saat itulah pondokan-kostan menjadi sunyi, hening, dan lengang. Namun pada saat tersebut saya memaknai esensi puasa yakni ibadah keheningan. Dan dalam keheninganlah saya menemukan ketenangan.

Di Makassar, tepatnya di sekitar kostan saya memiliki tetangga-tetangga yang amat baik hati. Saat lebaran tiba saya akan tertumpah-kebagian kebahagiaan, saya akan diberikan makanan-makanan khas lebaran. Oh, itulah berkah lebaran dengan saling berbagi dan merasakan. Berbagi dengan para musafir seperti saya. 



Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

TERPOPULER BULAN INI