Huma/dok. www.worldwildlife.org |
HUMA merupakan satu hal yang menarik dan khas dari negeri kepulauan tukang besi, Wakatobi. Saya selalu kagum dengan para nelayan saat menghabiskan hari-harinya di atas huma yang berada pada tengah lautan sana. Mereka penjelajah lautan yang tangguh. Merekalah pelaut-pelaut yang bersahabat erat dengan alam dan mampu berdamai dengan lautan. Dan kemampuan survive-nya menarik untuk dimaknai dan dipelajari. Saya juga cemburu tatkala mereka menikmati nyanyian riak-riak gelombang dalam belaian mesranya angin laut lalu menghabiskan malam-malam di tengah lautan sambil menikmati parade benda-benda langit dari atas huma miliknya, bagi saya itu adalah satu cara langka dalam menikmati dan mencumbui alam.
***
Saat berlayar dari Pulau Tomia, Wakatobi menuju Baubau (Pulau Buton)
atau melawan arah sebaliknya (back azimuth), maka mata kita akan terpana dengan suatu
pemandangan unik yakni berjejernya HUMA para nelayan atau bangunan yang berdiri di tengah laut. Yah serupa offshore - rig
pengeboran minyak di perairan kalimantan. Huma
dalam bahasa setempat (bahasa daerah Tomia) berarti rumah/bangunan permanen di
atas laut yang banyak dibangun oleh para nelayan di Karang (Pasi) yang terletak
diantara Pulau Tomia – Kaledupa. Dimana huma berfungsi sebagai tempat
berlindung sementara dari segala aktifitas melaut. Karang pasi memanjang dari
wilayah laut pulau wanci hingga pulau tomia. Mengingat kondisi topografinya berupa karang maka kapal-kapal tradisional yang akan
melalui daerah ini harus berhati-hati sebab akan berhadapan dengan arus laut
yang kuat, angin dan ombak tinggi serta jika seorang nahkoda tak berpengalaman dalam
hal navigasi maka bisa berakibat kapal miliknya akan menabrak bongkahan-bongkahan
karang tersebut.
Nah, mengingat kondisi lingkungannya berada di lautan maka dari
itu konstruksinya harus dibangun kokoh terhadap gaya atau beban hidup yang akan
diterimanya seperti faktor arah angin, pasang surut, gelombang ataupun arus
laut. Termasuk juga beban mati dari huma itu sendiri. Material yang biasa
digunakan adalah dari kayu-kayu pilihan yang cukup kuat dan tahan lama lalu dipancangkan di
dasar laut sebagai pondasi. Proses selanjutnya akan dimodifikasi dengan memasanginya
atap. Jika diperhatikan secara seksama menyerupai rumah panggung sederhana, lebih
tepatnya.
Huma
menjadi basecamp bagi para nelayan selama menghabiskan waktunya hingga
berminggu-minggu lamanya di tengah lautan. Segala hasil tangkapan dari melaut dengan cara memancing, menjala, menyulu dan cara penangkapan tradisional lainnya akan di olah dan di simpan di atas bangunan huma ini. Salah satu contohnya
adalah ikan-ikan yang telah di tangkap akan di awetkan dengan cara di keringkan
menjadi ikan kering/asin. Itulah cara yang paling efektif dan konvensional
sebab di atas huma tak ada wadah pengawet semisal mesin pendingin jadi mau
tidak mau harus segera menjemurnya dengan umumnya mengandalkan sinar matahari.
Dikampung
tepatnya di pulau tomia, saya mengenal dan bertetangga dengan nelayan-nelayan
penjelajah lautan nan tangguh yang memiliki huma di karang pasi. Ia bersama
istrinya biasanya menghabiskan waktu di huma miliknya hingga dua mingguan atau
lebih untuk menangkap berbagai jenis ikan dan kerang laut yang bernilai
ekonomis baginya. Transportasi atau perahu yang biasa digunakannya adalah jenis
perahu bodi batang (sebutan perahu yang biasa juga digunakan para nelayan bajo
wakatobi). Dia akan kembali ke daratan
setelah bahan makanannya telah menipis atau habis dimana hal tersebut merupakan
bekal selama tinggal di atas huma. Bahan pokok tersebut biasanya berupa beras,
kaopi dari singkong yang akan di olah menjadi kasoami sebagai makanan pokok
orang tomia. Tentu juga air amat penting untuk keperluan di atas lautan serta
bahan-bahan lainnya.
Nampak sebaran karang wakatobi/Dok. Google |
Semesta
menganugerahi kepulauan Wakatobi dengan kelimpahan hasil laut yang amat banyak.
Puji syukur atas hal ini tentunya. Keberagaman jenis ikan disebabkan posisi
wakatobi sebagai segitiga karang dunia. Maka tak mengherankan jika lautan wakatobi menjadi rumah
atau surga bagi bermacam-macam segala ikan. Bahkan kekayaan perikanan di karang
pasi wakatobi tercium juga oleh para pelaut dari Selatan. Saya masih ingat,
pada tahun 2000-an sangat banyak Bagang yang berdatangan memenuhi pesisir pantai
Pulau Tomia. Bagang adalah jenis kapal tangkap tradisional suku bugis. Puluhan
Bagang asal sinjai tersebut datang mengeruk hasil-hasil laut karang pasi
wakatobi. Tetapi dampak masuknya pelaut bugis tersebut telah menyebabkan terjadinya
akulturasi budaya manakala beberapa diatara mereka telah menikah dengan warga
Tomia bahkan memilih hidup menetap di pulau yang juga dikenal dengan nama kepulauan
tukang besi ini.
***
HUMA merupakan rumah tradisional bagi nelayan Tomia di atas birunya lautan wakatobi. Tentunya
ini juga menjadi sesuatu hal yang khas nan langka dalam melihat satu sisi kehidupan pelaut maritim nusantara. Keberadaannya
tak terlepas dari bagaimana mereka mengakrabi alam serta bersahabat erat dengan
lautan. Saya bisa membayangkan dan memaknai cara mereka ber-survive terhadapan ganasnya ombak-ombak di
palung terdasar samudera sana. Saya meyakini bahwa Anak pulau adalah mereka-mereka yang mampu berdamai dengan lautan. Pelaut-pelaut Tomia, Wakatobi juga adalah satu suku pelaut di nusantara yang berani dan gigih membelah lautan lalu menyusurinya. Yah, saya memercayai hal itu, entah bagaimana dengan anda?
- Catatan perdana di awal tahun 2015
Yang penting jangan terlalu mengkomersilkan alam,,karena alam untuk dinikmati oleh siapapun..
ReplyDeleteLAKSANAKAN PASAL 33 UUD 1945..
ya.. alam untuk dinikmati dan dijaga agar tetap lestari, itu kewajiban pejalan. lantas siapa yg mengkomersilkan alam...
Delete